Rabu, 29 Januari 2014

PAHAM NASIONALISME

PAHAM NASIONALISME

Pengertian Paham Nasionalisme
Nasionalisme diartikan sebagai suatu sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian kelompok tersebut merasakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
Dalam perkembangan zaman, dikenal ada dua pengertian nasionalisme. Pertama, paham nasionalisme yang didasarkan pada perpaduan politik, ekonomi. sosial dan budaya. Kedua,paham nasionalisme yang didasarkan pada faktor kemanusiaan. Negara-negara pemula penganut penganut yaitu Inggris, Jerman dan Italia.
Beberapa bentuk dari nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.

Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").

Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").

Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.

Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.

Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bilamana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.

Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.
Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.

Para pencetus Nasionalisme :
1.Joseph Ernest Renan ( 1823-1892)menganut aliran nasionalisme yang didasarkan pada faktor kemanusiaan.
2. Otto Bauer ( 1882-1939) paham bangsa timbul karena persamaan perangai dan tingkah laku dalam memperjuangkan persatuan dan nasib yang sama.
3. Hans Kohn,
paham nasionalisme timbul karena perpaduan politik, ekonomi, social dan budaya.
4. Lois Snyder, nasionalisme hasil dari perpaduan faktor-faktor politis, ekonomi, sosial,dan intelektual pada suatu taraf di dalam sejarah.

Kelebihan dan kelemahan :
Barangkali nasionalisme dan demokrasi, dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, dewasa ini ialah puncak asas moral politik itu. Mungkin, tak terlalu berlebihan mereka dikatakan, sebagai gugus penyangga modernitas. Dan nasionalisme juga demokrasi merupakan bagian penting dalam masyarakat dan politik. Adalah gagasan paling menggairahkan. Hanya ada sedikit negara di dunia di abad ini yang tak menyebut dirinya demokratis serta mengelu-elukan nasionalisme. Seakan kita hidup di zaman “akhir sejarah” ketika sedikit sekali ideologi lain yang bisa menandingi seruan dan gaung keduanya. Di mana nasionalisme serta demokrasi menggema hampir di seluruh dunia: dari desa miskin di ujung Afrika sampai dusun kecil di Wonosari.
Entah kita suka atau tidak: tatkala tembok Berlin jebol pada 1989; diikuti dengan ambrolnya ideologi komunis di negara bekas Uni Soviet dan sekutunya, sejumlah negara Eropa Timur yang berlangsung hampir setengah abad; dan adanya gerakan perlawanan besar-besaran terhadap otoritarianisme di Asia, Amerika Latin, Afrika. Demokrasi kehilangan pembanding. Tak ada lagi ancaman besar terhadap kekuasaan demokrasi sesudah pernyataan diri “dunia yang bebas” merayakan keruntuhan imperium komunisme yang otoriter dan sengak itu. Sebab komunisme secara dramatis dan liris membiarkan demokrasi melenggang sendirian. Tanpa teman, tanpa lawan berarti satu pun. Masyarakat tanpa musuh, Ulrich Beck menyebutnya. Atau, dengan nada mantap dan baris yang tegas, seperti diserukan Francis Fukuyama: sejarah telah berakhir dengan tercapainya masyarakat demokratis liberal dan kapitalisme.
Sungguh ironis dan agak keterlaluan, andaikan benar demokrasi berjalan sendirian. Tiada punya seteru politik yang mumpuni. Bukankah, jika hal itu sungguh terjadi, patut disayangkan. Ia tak cukup sehat bagi gerak politik secara keseluruhan. Namun, penegasan tentang susut dan raibnya kawan dan lawan bagi demokrasi, ini bisa saja menyesatkan; terlalu gegabah; prematur.
Karena barangkali komentar sinis itu muncul dari semacam kekecewaan yang dalam juga tolol, dari perasaan takut (tipisnya harapan) yang dimiliki segelintir orang. Tapi sayangnya saya akan memahaminya seperti berikut ini: mereka, para pemimpin politik yang punya kendali pemerintahan, yang kelewat berani mengabaikan atau bahkan terlanjur menyingkirkan demokrasi, laissez faire (atau kapitalisme dengan prinsip otonomi, hak properti, redistribusi secara adil) dan nasionalisme moderat akan mendatangkan risiko bagi legitimasi politiknya.
Entah itu dalam skala lokal maupun global. “Para calon pemimpin politik,” demikian tulis Ian Shapiro dalam bukunya Asas Moral dalam Politik, “bisa saja kaum liberal atau konservatif, meritokrat atau egalitarian, nasionalis atau kosmopolitan, multikulturalis atau unikulturalis. Namun akan semakin sulit, dan jarang, bagi mereka untuk menentang demokrasi secara terbuka ketimbang menganut salah satu pandangan yang tadi disebut. Bisa saja mereka menyerang korupsi dan distorsi dalam demokrasi, atau berpendapat bahwa suatu sistem representasi demokratis tertentu tidak adil […] namun mengakui legitimasi demokrasi bahkan ketika mereka menghindarinya.” Ada paradoks di sana: itu benar. Tapi Ian Shapiro, melalui ucapan di atas, apakah sedang mendramatisasi demokrasi? Saya kira tidak. Menyemangati demokrasi dan sekaligus menegaskan kebencian atau kerapuhan orang lain yang dilakukan sambil berbisik terhadap demokrasi itu lebih merupakan penghormatan dengan cara elegan.


CIRI-CIRI PAHAM NASIONALISME
1.      Adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
2.      Adanya nilai moral,etika dan budaya yang kental.
3.      Sistem pelaksanaan paham memiliki ciri khas dari kelompok tersebut
4.      Kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik"
5.      Pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat dan  mengutamakan negara

Pendapat kelompok kami tentang Nasional demokrasi
Belakangan ini masyarakat Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap para pemimpin nasional. Pertikaian yang terjadi di eksekutif,legislatif,dan yudikatif secara implisit memaksa rakyat untuk menyesal karena ikut andil dalam mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan. Aplikasi sistem demokrasi yang karutmarut dianggap tak mampu menyejahterakan rakyat. Krisis kepercayaan ini seakan mencapai klimaks pada wacana beberapa LSM yang ingin menuntut Ketua DPR Marzuki Alie atas sikapnya yang dianggap tidak aspiratif. Sikap apriori rakyat cenderung meningkat. Sebagian rakyat bahkan menganggap ada tidaknya wakil-wakil di Senayan itu tidak akan berpengaruh pada kehidupan rakyat
Lantas, di mana letak kesalahan pada sistem demokrasi yang dianut ini? Jika ingin adil,tak dapat masalah ini hanya dilihat pada pucukpucuknya. Layaknya aliran sungai, kancah politik nasional itu hanyalah sebuah muara. Tiap debit air yang terkumpul di sana berasal dari mata air di mana etika berpolitik dipelajari dan dipraktikkan. Dalam hal ini,kampus atau perguruan tinggi menjadi mata air pembentukan karakter politik nasional. Di sana mahasiswa, sebagai generasi penerus, dilatih untuk hidup bernegara meski dalam skala yang lebih kecil. Pada lingkup kemahasiswaan dibentuk lembaga-lembaga yang mengindikasikan unsur-unsur dalam trias politika yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apa pun yang terjadi di dalam kampus tentu akan menjadi cerminan masa depan perpolitikan dan demokrasi suatu negara. Keadaan ini terlihat pada kecenderungan elite politik nasional yang dianggap tak memperjuangkan kepentingan rakyat di Parlemen, melainkan hanya kepentinganpartaidankelompok.

1 komentar:

Selamat Datang..dan terimakasih.. :)