Sabtu, 17 September 2016

Environmental Governance, Good Governance, dan Good Environmental Governance



Environmental Governance, Good Governance, dan
 Good Environmental Governance

Environmental Governance

Environmental Governance merupakan konsep dalam ekologi politik dan kebijakan lingkungan yang menganjurkan pembangunan berkelanjutan yang mempedulikan lingkungan  sebagai pertimbangan tertinggi untuk mengelola sebuah Negara sebagai kegiatan politik, sosial dan ekonomi.[1] Bagi Juda[2]Environmental Governance juga membicarakan mengenai penyusunan baik secara formal ataupun informal, institusi, dan faktor lain yang menentukan bagaimana sumber daya atau lingkungan di gunakan sebaik mungkin. Environmental Governance juga membicarakan mengenai bagaimana permasalahan dan kesempatan dapat dievaluasi dan dianalisa sebaik mungkin. Bagaimana sebuah perbuatan dianggap terlarang ataupun dapat diterima, dan juga mengenai sanksi dan peraturan yang diaplikasikan untuk memberikan efek kepada pola perbuatan penggunaan sumber daya ataupun lingkungan.”
Kepemerintahan lingkungan (Environmental Governance) menurut Mugabe dan Tumushabe sebagian dibangun berdasarkan dua konsep, yakni konsep manajemen dan kepemerintahan lingkungan. Konsep Environmental Governance sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan dari nilai-nilai dan norma-norma yang memandu atau mengatur hubungan antara negara dan masyarakat dalam penggunaan, pengawasan, dan manajemen dari lingkungan alam. Nilai-nilai dan norma-norma ini diekspresikan dalam suatu rantai yang kompleks yang terdiri atas peraturan, kebijakan, dan institusi yang mengatur sebuah mekanisme organisasi dalam mengartikulasikan sasaran yang luas dan target perencanaan yang spesifik dari manajemen lingkungan. Environmental Governance menyediakan sebuah kerangka kerja konseptual dimana tingkah laku publik dan swasta diatur dalam mendukung pengaturan yang lebih berorientasi ekologis. Kerangka kerja tersebut membentuk hubungan timbal balik antara masyarakat (global, regional, nasional, dan lokal) dalam berhubungan dengan akses dan penggunaan barang dan jasa lingkungan serta mengikat mereka (dalam tingkatan apapun) dengan etika-etika lingkungan spesifik tertentu.[3]

Good Governance

Good Governance merupakan sebuah konsep lama guna menjalankan pemerintahan yang telah di kenal dalam kajian ilmu politik. istilah “Good Governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government)[4]
Governance itu sendiri mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dalam konsep governance ini terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Definisi yang dirumuskan IIAS yang lalu di kutip oleh sofian effendi dalam jurnalnya adalahthe process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”[5] Yang artinya adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial.
Untuk mewujudkan pemerintahan berdasarkan konsep Good Governance ini, disebutkan ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan Good Governance, yakni: pemerintah (the state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha.[6]
Dalam Good Governance, terdapat sembilan karakteristik yang harus di penuhi[7];
1.      Partisipasi/ participation. Masyarakat dan atau stakesholder terkait harus memiliki suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung atau melalui lembaga sah yang mewakili kepentingan mereka.
2.      Aturan hukum/ rule of law. Kerangka hukum harus adil dan menyelenggarakan undang-undang yang tidak memihak, hukum tertentu diatas hak asasi.
3.      Keterbukaan/transparency. Keterbukaan dibangun atas mengalirnya informasi yang bebas. Dalam proses, institusi dan informasi diakses langsung untuk urusan mereka, dan informasi yang cukup disediakan untuk memahami dan memonitoring mereka.
4.      Kepekaan/ responsiveness. Institusi dan proses mencoba untuk melayani semua stakesholder.
5.      Musyawarah mufakat/consensus of orientation. Tata kelola pemerintahan yang baik menengahi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus luas diatas kepentingan yang terbaik dari kelompok dan dimana kemungkinan pada kebijakan dan prosedur.
6.      Keadilan/ equity. Masyarakat memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
7.      Efektif dan efisien/ effectiveness and efficiency. Proses dan institusi memberikan hasil yang memenuhi kebutuhan sementara membuat kegunaan yang terbaik dari sumber daya.
8.      Akuntabilitas publik/ accountability. Pembuat kebijakan yaitu pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat bertanggung jawab pada publik, serta untuk stake holder kelembagaan. Akuntabilitas ini berbeda, tergantung pada organisasi dan apakah kepeutusan itu bersifat internal atau eksternal untuk organisasi.
9.      Visi strategis/ strategic vision. Pemimpin dan publik memiliki perspektif luas pada tata kelola pemerintah yang baik dan pengembangan manusia, bersama dengan rasa apa yang di butuhkan untuk pengembangan tersebut. Ada juga pandangan tentang sejarah, budaya, dan sosial kompleksitas dalam dasar perspektif.

Good Environmental Governance

Pemerintahan  yang  sudah  mampu  mewujudkan Good Governance belum tentu memiliki kepedulian terhadap aspek keberlanjutan ekosistem. Seperti yang diusung oleh environmetalism. Oleh  sebab  itu  pemerintah  yang  telah  mengupayakan   aktualisasi prinsip-prinsip Good Governance  masih memerlukan  persyaratan tambahan yaitu mengaitkan seluruh kebijakan pembangunan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologi (ecological sustainability)[8] agar dapat dikatakan sebagai good environmental governance
Menurut Siahaan[9] azas-azas penyelenggaraan negara yang baik dalam mengelola lingkungan dengan prinsip keberlanjutan sumber daya (sustainability) disebut dengan prinsip Good Environmental Governance (GEG). Sedangkan menurut world bank dalan Belbase[10].
“...it necessary to achieve the sustainable use of resources and the protection of environmental quality. This objective requires a atransparent system of well-functioning environmental institutions, policies, and programs that actively involve the public in their formulation and implementation.”
Hal tersebut menjelaskan bahwa Good Environmental Governance merupakan sebuah kegiatan penting untuk mensukseskan penggunaan sumber daya alam secara bekelanjutan dan melindungi kualitas lingkungan. Kegiatan ini membutuhkan transparansi sistem pada institusi lingkungan, kebijakan dan program-program yang melibatkan masyarakat dalam merumuskan dan penerapan kebijakan-kebijakan. Selain itu, budiati[11] berpendapat Environmental Governance sebagai framework pengelolaan negara melalui interaksinya dengan rakyat, dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Elemen-elemen dalam Good Environmental Governance menurut belbase[12] yaitu ;

1.      Aturan Hukum (the rule of law)
Konsep pertama dalam aturan hukun adalah agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh pemerintah dari aturan hukum itu sendiri dan yang kedua adalah aturan hukum diletakkan pada fakta bahwa hukum harus legal dan berdasarkan pada keinginan rakyat. Dari kedua aspek tersebut dapat dilihat bahwa aturan hukum bertujuan untuk menghindarkan terjadinya kesewenang-wenangan oleh pemerintah atau pihak yang berkuasa tanpa memperhatikan keinginan rakyat.
Elemen-elemen dalama aturan hukum ;
a.       Sebuah badan legislatif yang memberlakukan undang-undang yang menghormati konstitusi dan hak asasi manusia.
b.      Sebuah sistem peradilan yang independen
c.       Sebuah sistem hukum yang menjamin persamaan hak di hadapan hukum
d.      Sebuah layanan yang mudah didapat, efektif, dan independen
e.       Sebuah sistem penjara yang menghormati pribadi manusia
f.       Seorang polisi pada layanan hukum
g.      Keefektifan badan eksekutif yang mamu menegakkan hukum dan menetapkan kondisi sosial dan ekonomi yang diperlukan bagi kehidupan di masyarakat dan tunduk pada hukum.
h.      Kemiliteran yang berjalan dibawah kontrol sipil dengan batasan konstitusional

2.      Partisipasi dan Reperesentasi (participation and representation)
Partisipasi menurut Davis sebagaimana dikutip oleh Sastro Poetro[13]Participation is define as mental and emotional involment of a person in a group situation which encourage him to contribute to group goals and share responsibility in them”. Yang bermakna, partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam sebuah situasi kelompok yang mendorongnya untuk berkontribusi terhadap apa yang menjadi tujuan kelompok dan turut bertanggung jawab akan tujuan dari kelompok tersebut.
Partisipasi itu sendiri dibagi menjadi dua sifat, yakni partisipasi aktif, dan partisipasi pasif. Partisipasi pasif dapat diartikan bahwa dalam setiap sikap, perilaku dan tindakannya seeorang individu tersebut tidal melakukan hal-hal yang mengakibatkan pada terhambatnya suatu kegiatan pembangunan atau pencapaian pada tujuan. Sedangkan partisipasi aktif dapat diartikan sebagai sikap aktif seseorang dalam memenuhi kewajibannya dalam suatu kelompok, dimana individu tersebut juga turut memikirkan nasib kelompoknya, memiliki kesadaran bernegara dan bermasyarakat, serta taat akan ketentuan atau peraturan yang telah ada.[14]
Setidaknya ada tiga hal pokok yang terdapat dalam arti partisipasi[15]:
1.      Titik berat partisipasi adalah pada keterlibatan mental dan emosional, kehadiran secara pribadi atau fisik semata-mata dalam suatu kelompok tanpa keterlibatan mental dan emosional bukanlah termasuk partisipasi.
2.      Kesediaan untuk memberikan kontribusi bergerak. Wujud kontribusi dalam pembangunan adalah macam-macam, seperti barang, jasa, uang, buah pikiran, dan sebagainya.
3.      Keberanian untuk menerima tanggung jawab atas suatu usaha atau umtuk mengambil bagian dalam pertanggung jawaban.
Sherry Arnstein mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Dengan pernyataannya bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana setiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan.[16]
Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa adanya sebuah partisipasi (non participation), yang meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). Kemudian tanak tangga selanjutnya, yakni (3) menginformasikan (informing), (4) konsultasi (consultation), dan (5) penentraman (placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan tokenisme (degree of tokenism) yang dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi hanya dimaksudkan sekadar untuk menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna. Tangga selanjutnya tiga anak tangga teratas adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat.[17]


 
  























Sumber : data diolah tahun 2016

Berikut penjelasan dari gambar tangga partisipasi Arnstein untuk memudahkan pemahaman yang ada[18] :
1. Manipulasi (manipulation). Di level Manipulation, terlihat lebih memilih dan mendidik sejumlah orang sebagai wakil dari publik. Fungsinya, ketika mereka mengajukan berbagai program, maka para wakil publik tadi harus selalu menyetujuinya. Sedangkan publik sama sekali tidak diberitahu tentang hal tersebut
2. Terapi (therapy). Pada level ini telah terlihat adanya komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta masyarakat pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.
3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat belum diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back).
4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi yang ada telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.
5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.
Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.
6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses pada proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan.
7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Pada tahap ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.
8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga teratas partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.
Adanya partisipasi langsung dari masyarakat akan memiliki efek yang signifikan terhadap kondisi sosial politik yang ada, yaitu ;
1.      Mengembangkan kesadaran masyarakat mengenai sosial, politik, dan lingkungan.
2.      Meningkatkan rasa toleransi, empati dan pluralisme.
3.      Meningkatkan kesadaran implikasi dari tindakan-tindakan individu pada lingkungan dan konteks lingkungan.
4.      Membangkitkan pemberdayaan komunitas sebagai individu maupun kelompok-kelompok mengenali kapasitas mereka untuk mempengaruhi dan merubah sekitarnya.
Karena jika pemerintah tidak menyediakan kesempatan bagi masyarakat lokal dan komunitas-komunitas lingkungan untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan maka akan menimbulkan konflik dan perlawanan dari masyarakat. Karena itu partisipasi masyarakat dari individu ataupun kelompok sangat dibutuhkan.

3.      Akses terhadap informasi (acces to information)
Merupakan penyediaan informasi yang berhubungan dengan lingkungan dan mekanisme penyediaan informasi lingkungan oleh pemegang wewenang. Sehingga diharapkan masyarakat mengetahui informasi terkini terkait sumberdaya alam mereka dan informasi terkait lingkungan sekitarnya. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan informasi tersebut sebagi pemenuhan hak akan informasi pada masyarakat.

4.      Transparansi dan akuntabilitas (transparency and accountability)
Transparansi merupakan sebuah kejelasan informasi yang mencangkup laporan sebenarnya di lapangan, proses pengambulan keputusan dan hasil dari keputusan itu seperti apa. Sedangkan akuntabilitas merupakan bentuk tanggungjawab yang ada dalam organisasi.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) memberikan definisi bahwa asas transparansi diperlukan agar pengawasan oleh masyarakat dan dunia usaha atau swasta terhadap penyelenggaraan negara dapat dilakukan secara objektif. Transparansi diperlukan dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan anggaran. Penyediaan informasi melalui sistem informasi dan dokumentasi harus dapat dengan mudah diakses oleh pilar di luar pemerintah.[19]
Transparansi adalah sebuah prinsip yang menjamin kebebasan atau akses bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi terkait penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam hal penyusunan kebijakan ataupun pelaksanaan dari sebuah kebijkan dan hasil-hasil yang dicapai. Prinsip transparansi ini menekankan pada dua aspek, yakni pada komunikasi publik dan akses terhadap informasi.[20]

5.      Desentralisasi (decentralitation)
Desentralisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah, baik dalam hal penyerahan tugas, kewajiban, kewenangan dan juga tanggung jawab. Desentralisasi diharapkan agar daerah yang bersangkutan dapat mengatur dan mngurus rumah tangganya sendiri.[21] Desentralisasi berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan sebagai “Pembagian daerah indonesia atas dasar daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawarahan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Desentralisasi dalam Good Environmental Governance ditekankan pada permasalahan sejauh mana hak pengelolaan sumberdaya alam di tempatkan. Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945  Ayat 2 disebutkan bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Serta Ayat 3 yang berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Meninjau dari peraturan yang berlaku di Indonesia, maka dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada merupakan kewenangan negara dan tidak semerta-merta dimiliki oleh rakyat, sehingga jika suatu sumberdaya alam berada disekitar pemukiman rakyat, tidak berarti menjadi hak rakyat sekitar dan tetap harus dikelola oleh negara.
Negara dalam pengelolaannya menjadi tanggung jawab dari kementerian terkait, dalam hal ini pengelolaan sumberdaya alam yang berada di daerah dikelola oleh pusat yang berada jauh dari letak sumberdaya alam itu berada. Desentralisasi dalam hal ini diharapakan dapat terlaksana hingga pada level paling bawah. Pengelolaan lingkungan ini bisa dimulai dari level pemerintahan pusat, turun pada tingkat regional dan turun lagi hingga pada level lokal. Karena pada dasarnya mereka yang berada pada level lokal lebih memahami permasalahan dan situasi yang sedang dihadapi sehingga diharapkan dari hal itu dapat diperoleh sebuah keputusan yang tepat sesuai dengan kondisi yang ada dan tidak merugikan banyak pihak.

6.      Lembaga dan Institusi (institutions and agencies)
Keberadaaan dari lembaga dan institusi sangatlah penting karena mengacu pada norma-norma informal, peraturan dan organisasi yang mengkoordinasikan perilaku manusia. Sehingga kehadiran lembaga dalam masyarakat  diharapkan dapat menghasilkan informasi, memberikan suara warga, menanggapi umpan balik dan mendorong pembelajaran bagi masyarakat tingkat lokal. Lembaga dan institusi yang ada juga harus menyeimbangkan kepentingan dengan menegosiasikan perubahan dan kesepakatan dengan menhindari kemandekan dan konflik.
Pemerintahan yang peduli lingkungan sebaiknya menyediakan terendiri lembaga khusus yang menaungi bidang lingkungan dan juga perihal konservasi alam. Pembentukan suatu lenbaga yang menaungi urusan lingkungan dan konservasi merupakan bentuk keseriusan dari pemerintahan yang ada untuk turut serta dalam mengelola dan menjaga lingkungan yang ada dengan baik dan berkelanjutan. Lembaga tersebut juga harus dibentuk mulai dari tingkat pemerintahan pusat dan turun ke tingkat pemerintahan provinsi masing-masing. Sehingga pelaksanaan pemerintahan lingkungan dapat berjalan dengan baik dan good environmental governance pun akan tercipta.

7.      Akses untuk memperoleh keadilan (acces to justice)
Akses hukum tidak hanya berarti terkait ketersediaan layanan peradilan, akan tetapi juga berarti peningkatan kapasitas untuk menggunakan layanan peradilan, yang diharapkan dalam peningkatan kapasitas penggunaan layanan peradilan ini dapat memberikan konstribusi untuk meningkatkan akuntabilitas pelayanan dan menjamin hak-hak masyarakat.
Sehingga akses terhadap keadilan adalah akses ke informasi lingkungan, hak untu berpartisipasi, dalam proses pengambilan keputusan dan akses terhadap hukum prosedur proses, dan instansi yang telah diberlakukan dan ditetapkan untuk memenuhi hak-hak lingkungan masyarakat. Akses keadilan merupakan merupakan aspek penting dari akuntabilitas karena menyediakan jalan untuk menegakan kewajiban dan hak-hak lingkungan substansial dan prosedural.


[1]Oliver M Brandes and David B Brooks, Loc. Cit.,
[2] ARCTIC TRANSFORM, 2009, Transatlantic Policy Options for Supporting Adaptations in the Marine Arctic, http://www.arctic-transform.org ,diunduh pada tanggal 28 Maret 2015
[3] Teguh Kurniawan, Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan (Environmental Governance) di Indonesia, di unduh dari teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id pada tanggal 28 Maret 2015
[4] Sofian Effendi, 2005, Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama di unduh dari www.sofian.staff.ugm.ac.id pada tanggal 1 November 2015
[5]Ibid.,
[6]ibid.,
[7]UNDP, 1997, Governance For Sustainable Human Development A UNDP Policy Development , New York :UNDP Governance Policy Paper
[8] Pandji Santosa , 2008, Administra Publik : Teori Dan Aplikasi Good Governance, Bandung : PT. Refika Aditama, hlm. 131.
[9] Siahaan.N.H.T, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta : Erlangga, hlm. 32
[10]Narayan Belbase, 2010, Environmental Good Governance In The Future Constitution In Nepal, hlm. 4-13, IUCN Nepal
[11]Lilin Budiati, 2012,Good Governance Dalam Pengelolaan Lingkungab Hidup, hlm 65, Bogor:Ghalia Indonesia
[12].Belbase, Loc. Cit.,
[13] Santoso Sastropoetro, 1988, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi Dan Disiplin Dalm Pembangunan Nasional. Jakarta : alumni, hlm. 13
[14]Sondang P Siagian, 1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Cetakan Ketujuh Bumi Aksara, hlm 2.
[15] Tazaliduhu Ndraha , 1980, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 26
[16] Sherry Arnstein, 1969, A Ladder of Citizen Participation, Journal of the American Institute of Planners, Vol. 35, No. 4, hal 216-224.

[17] Ibid.,
[18] Ibid.,
[19] Wahyu Widhianto, 2010, Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance, Jakarta : UI Press.
[20] Krina, P, 2003, Indikator Dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi Dan Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta
[21] Sulaiman N. Sembiring, 1999, Kajian Hukum Dan Kebijkaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Indonesia(Menuju Pengembangan Desentralisasi Dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat), Jakarta: Perpustakaan Nasional, hlm. 68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang..dan terimakasih.. :)