Makalah Pemikiran Politik Mohammad Hatta
by
Huda Candra Baskara
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang.
Jika ada pemimpin Indonesia yang hampir sempurna dalam karakter dan
integritas pribadi, maka Mohammad Hatta (Hatta) adalah salah satu yang paling
menonjol. Wawasan intelektualnya sangat jauh ke depan, sementara moral
politiknya yang prima dan anggun banyak diakui kawan dan lawan. Dalam suasana
sengketa politik dengan Bung Karno, komunikasi persaudaraan antara keduanya
tidak pernah putus, walaupun watak keras
Soekarno dalam politik tersebut sempat mengecewakan generasi muda karena
kegagalannya dalam membujuk Hatta agar jangan meninggalkan kursi wakil
presiden.
Zaman pendudukan Jepang (tahun
1942-1945) bagi Mohammad Hatta, merupakan sebuah ujian besar, yang hanya dapat
diatasinya karena keteguhan iman dan optimismenya akan tercapainya cita-cita
Indonesia merdeka. Dalam pada itu beliau mempunyai keyakinan bahwa Perang
Pasifik akan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Hatta tidak percaya bahwa
Jepang akan menang dengan Amerika/Sekutu yang mempunyai productie-potential begitu
hebat. Tetapi berhubung dengan keuntungan permulaan yang diperoleh Jepang,
perang tidak akan bisa selesai dalam tiga tahun. Masa perang itu bagi Hatta
harus dipergunakan untuk mempersiapkan tenaga perjuangan rakyat, yang nantinya
sanggup memikul kemerdekaan apabila Jepang sudah kalah. Kalau tidak bisa dielakkan
maka kerjasama dengan pemerintah militer Jepang itu, menurut pertimbangan
Hatta, bisa berarti untuk meringankan banyak sedikitnya penderitan yang
ditimpakan pemerintah militer Jepang kepada bangsa Indonesia. Selama pendudukan
Jepang, Hatta jarang berbicara di depan umum, kalaupun berbicara lebih sering
sekedar memberikan obat pelipur lara dalam jiwa rakyat yang sedang tertekan.
Ketika Jepang menyerah pada
bulan Agustus 1945, maka meletuslah amarah orang-orang Indonesia terhadap
Jepang, dan timbulah dorongan aktif untuk merebut kekuasaan dari Jepang.
Pandangan Hatta yang jauh ke depan mengatakan pendiriannya bahwa Jepang yang
kalah tidak menjadi soal lagi. Soal yang paling penting adalah menghadapi tentara
Sekutu yang akan mengembalikan kekuasaan Pemerintah Belanda di Indonesia. Oleh
sebab itulah Hatta menyusun siasat antara perang dan damai untuk mencapai
pengakuan Indonesia merdeka. Kemudian Hatta memilih damai. Akan tetapi seperti
seringkali diucapkannya “kita cinta perdamaian, akan tetapi lebih cinta kepada
kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Mohammad Hatta,
di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Semenjak itu Hatta berperan aktif
memimpin negara RI sebagai wakil presiden., dan dalam keadaan yang sangat sulit
Hatta harus merangkap sebagai Perdana Menteri tahun 1948-1949. Politik yang
diperjuangkannya akhirnya mencapai tujuan dengan diakuinya Indonesia sebagai
negara berdaulat yang terdiri atas bekas wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada
Konferensi Meja Bundar tahun 1950. Pada waktu Republik Indonesia Serikat
berdiri, Hatta yang menjadi Perdana Menteri pertama dan terakhir. Setelah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk sesuai amanat proklamasi, Hatta
terpilih sebagai wakil presiden oleh parlemen.
Setelah mengenl sosok Hatta dalam sepak terjangnya maka, dari sini penulis
akan membahas tentang pemikiran bung Hatta. Bung Hatta terkenal atau dikenal
dengan pemikiran akan demokrasinya dan juga konsep kebangsaannya. Untuk itu
maka, penulis akan membahasnya sebagai fokusan masalah pada kesempatan kali
ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pemikiran Bung Hatta akan Demokrasi ?
2.
Bagaimana pemikiran Bung Hatta tentang konsep
Kebangsaan ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pemikiran
Bung Hatta akan Demokrasi.
2. Mengetahui pemikiran
Bung Hatta tentang konsep Kebangsaan.
BAB II
Pembahasan
A. Bung Hatta Dan Demokrasi
Cita-cita
tentang keadilan sosial adalah sari pati dari nilai-nilai timur dan barat yang
mengkristal dan membentuk visi Hatta mengenai masalah-masalah politik
kenegaraan. Hatta sangat percaya bahwa demokrasi adalah hari depan sistem
politik Indonesia. Demokrasi akan tersingkir sementara, tetapi ia akan kembali
dengan tegapnya . memang tidak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia
yang lancar jalannya, tetapi ia akan muncul kembali dan itu tak dapat di
bantah. Kepercayaan yang mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang pernah
menempatkan Hatta pada posisi yang berseberangan dengan Bung Karno ketika masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Hatta menilai sistem ini sebagai system
otoriterian yang menindas demokrasi. Sekalipun pendapatnya berbenturan dengan
Bung Karno, Hatta tetap saja memberikan fair chance kepada presiden
untuk membuktikan dalam realitas.
Sekalipun
tertindas, di mata Hatta demokrasi tidak akan pernah lenyap dari bumi
Indonesia. Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di
Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip
humanisme, sementara prinsip -prinsip ini dinilai juga sekaligus sebagai
sebagai tujuan. Kedua,ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan
Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme
sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia. Ketiga sumber inilah yang
akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia. Baginya, suatu kombinasi
organik antara tiga sumber kekuatan yang bercorak sosio religius inilah yang
memberi keyakinan kepada Hatta bahwa demokrasi telah lama berakar di Indonesia
tidak terkecuali di desa-desa. Bila di desa yang menjadi tempat tinggal sekitar
70% rakyat Indonesia masih mampu bertahan, maka siapakah yang meragukan hari
depan demokrasi di Indonesia.Tetapi memang sia-sia, sistem feodal sering
mengganjal perkembangan demokrasi di Indonesia pada berbagai periode sejarah
Indonesia modern. Sesudah kemerdekaan dicapai dan dinikmati bangsa
ini, Bung Hatta membuka peluang bagi pembelajaran demokrasi rakyat di
Indonesia. Bung Hatta sebagai wakil presiden memberikan kesempatan untuk berdirinya
partai-partai politik yang akan mengikuti Pemilu pada 1955. Memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan aspirasi
politiknya tanpa merasa takut. Akhirnya tidak kurang dari 39 partai mengikuti
pemilihan umum yang dipandang sebagai Pemilu yang paling demokratis sepanjang
sejarah Indonesia modern. Pada saat yang bersamaan pula, Bung Hatta melihat
bahwa partai-partai hanya berebut pengaruh untuk berkuasa. Partai-partai baku
hantam saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat. Para wakil yang
duduk di pemerintahan pun lebih condong bersikap sebagai politisi dan
oportunis, bukan negarawan.
Dimulai pada
Periode demokrasi terpimpin sampai periode demokrasi Pancasila (Orde Baru)
sama-sama ditandai oleh berlakunya sistem politik otoriterian dengan topangan
subkultur neofeodalisme. Hatta sangat prihatin melihat perkembangan politik
yang tidak sehat, tetapi regim menciptakan kedua sistem tersebut tidak mau
‘mendengar’ nasehat Hatta. Akhirnya mereka hancur lewat cara yang destruktif.
pada 1 Desember 1956, Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai wakil presiden.
Beliau melihat bahwa sejak penerapan sistem Demokrasi Liberal, jabatan wakil
presiden hanya pemborosan uang negara, karena kedudukannya yang tidak lebih
dari simbol belaka.
Sekalipun
diluar pemerintahan, Bung Hatta justru tetap selalu menjadi kekuatan moral
demokrasi dan mengontrol jalannya roda pemerintahan. Bung Hatta, sebagai
sahabat sejati Bung Karno, walaupun dalam beberapa hal sangat tidak sejalan,
senantiasa mengingatkan Bung Karno, terutama terhadap perkembangan PKI yang
begitu pesat sejak awal tahun lima puluhan. Bung Hatta cukup khawatir akan
kebijakan Bung Karno yang terlalu memberi angin kepada PKI. Ketika Bung Karno
menerapkan Demokrasi Terpimpin sejak 1959, Bung Hatta-lah orang yang paling
gigih melakukan kritik. Ia menulis “Demokrasi kita” dalam majalah Panji
Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka. Menurutnya, Demokrasi Terpimpin adalah
bentuk lain dari kediktatoran, yang kemudian tulisan (bukunya) tersebut
peredarannya dilarang Bung Karno.
Bung Karno
pun selalu diingatkan Bung Hatta untuk segera melaksanakan pembangunan, karena
revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia 1945. Yang
harus dilakukan sekarang adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Revolusi,
jika tidak dibendung, hanya menghancurkan landasan dan bangunan, melepaskan
engsel-engsel dan dinding-dindingnya. Pada saatnya akan mengakibatkan kekacauan
belaka. Namun Bung Karno, dalam pidato-nya (Jalan Revolusi Kita), merespon Bung
Hatta, menegaskan bahwa revolusi sebenarnya belum selesai. Kendati demikian,
Bung Hatta senantiasa menempuh cara-cara legal dan konstitusional dalam rangka
penegakan demokrasi. Beliau senantiasa tak berhenti menyampaikan kritik dan
sarannya kepada Bung Karno.
Luar biasa
memang, walaupun di antara kedua Proklamator ini terdapat perbedaan prinsip
dalam pendirian mereka, namun hubungan persahabatan keduanya tetap hangat dan
baik. Singkat cerita sekian tahun setelah Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai
wakil presiden, Bung Karno masih sempat mengunjungi Bung Hatta di rumahnya.
Terlihat dan terlibat keakraban kedua peletak dasar Indonesia modern ini. Dalam
suasana akrab tersebut, ketika akan makan malam, Bung Hatta juga sempat
“menyerang” keras kebijakan politik Bung Karno. Namun Bung Karno tidak
tersinggung oleh kritikan dan saran Bung Hatta. Kritik dan nasehat Bung Hatta
disampaikannya kepada Bung Karno sebagai seorang sahabat. Bung Hatta tak
kunjung berhenti mengirim surat berupa nasehat kepada Bung Karno untuk kembali
ke cita-cita Proklamasi Indonesia semula. Dalam menyampaikan nasehat dan kritik
tersebut, beliau senantiasa menjaga hubungan baik di antara mereka dan tidak
pernah melecehkan dan mengecilkan arti pribadi Bung Karno. Begitupun Bung Karno
sekalipun mendapat kritik tajam, Bung Karno tetap menghargai Bung Hatta sebagai
sahabat.
Begitulah
kisah perjuangan Bung Hatta dalam meluruskan dan menegakkan demokrasi. Berbeda
persepsi dalam penegakan demokrasi tidak harus diartikan sebagai permusuhan,
apalagi tidak mau bertemu atau bersalaman. Sebagai seorang demokrat sejati,
Bung Hatta berjiwa besar melihat perbedaan pendapat dan tidak hendak memaksakan
keinginannya sendiri. Ketika melihat kenyataan politik yang tak sesuai dengan
harapannya, Bung Hatta bukannya mendirikan partai politik tandingan untuk
menggembosi pemerintahan, sebagaimana dilakukan oleh para politisi kita saat
ini. Bung Hatta, melalui tulisan-tulisannya, memberikan pencerahan kepada
rakyat Indonesia untuk meraih kebebasan yang merupakan salah satu pilar penting
bagi tegaknya demokrasi, untuk tetap kritis terhadap ketidak-berdayaan dan
berjuang membela rakyat dalam menegakkan demokrasi.Sehingga Kata Echols ( 1981:
173)” the democratic ways of the Bung Hatta made people like him “ ( perlakuan
demokrasi Bung Hatta menyebabkan Bung Hatta disukai banyak orang )
Menurut Bung Hatta, demokrasi sudah ada sejak dari
desa.Bung Hatta berpendapat dalam Padma Wahyono (1990), desa-desa di Indonesia
sudah menjalankan demokrasi, misalnya dengan pemilihan kepala desa dan adanya
rembug desa. Itulah yang disebut “demokrasi asli”. Demokrasi desa memiliki lima unsur yaitu :
a) rapat
b) mufakat
c)
gotong-royong
d) hak mengadakan
proses bersama
e) hak
menyingkirkan dari kekuasaan raja absolut
Demokrasi Indonesia modern menurut
Moh. Hatta harus meliputi tiga hal, yaitu :
a) demokrasi di bidang politik
b) demokrasi di bidang ekonomi
c) demokrasi di bidang social
Bung Hatta, sebagai salah seorang founding father Indonesia, melihat demokrasi itu
tidak selalu demokrasi
politik, melainkan juga demokrasi ekonomi. Apa yang beliau maksud dengan
demokrasi ekonomi oleh Bung Hatta ?. Menurutnya, demokrasi politik saja tidak
dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. “Di sebelah demokrasi politik
harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka,
persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu,
cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi
seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” paparnya sebagaimana
dikutip Yudi Latif.
Hatta menolak untuk mengikuti
demokrasi liberal sebagaimana berkembang di Barat. Menurutnya, demokrasi ala
Barat yang dipancangkan melalui revolusi Perancis pada abad ke-18 membawa
masyarakat Perancis pada demokrasi politik ansich yang pada level
tertentu hanya menguntungkan masyarakat borjuis dan
menepikan masyarakat jelata. Demokrasi seperti itu, jelas Hatta, tidak sesuai
dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki terwujudnya
perikemanusiaan dan keadilan sosial.
Berdasarkan pemikiran tersebut,
Mohammad Hatta menghendaki karakter utama demokrasi ekonomi Indonesia terletak
pada tiadanya watak individualistik dan liberalistik dari jiwa perekonomian
Indonesia (Revrisond Baswir, 2009 : 40). Secara makro hal ini diterjemahkan
dengan menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional serta diikut sertakannya
semua pihak yang memiliki kepentingan dalam lapangan koperasi, termasuk para
pekerja dan konsumen koperasi untuk turut bergabung menjadi anggota koperasi.
Dengan demikian, pelembagaan kedaulatan ekonomi rakyat sebagai wujud demokrasi
ekonomi dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang
atau individu, hanya bisa diwujudkan dengan menyusun perekonomian Indonesia
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Pemikiran Bung Hatta dan para
pendiri bangsa telah tertuang ke dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 33. Ayat
(1) pasal 33, menyebutkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat (3), menyebutkan bahwa “bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam hubungan ini, sesuai dengan
konstituasi, hadir peran negara dalam rangka menjamin berlangsungnya demokrasi
ekonomi di Indonesia
B. Bung Hatta Dan Konsep
Kebangsaannya
Bagi Bung Hatta, tidak ada
pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan. Artinya,
perjuangan anti-kolonial apapun, sekalipun bercita-cita pada pembebasan manusia
seutuhnya, tetap harus berpijak pada semangat kebangsaan.
Bung Hatta bahkan menegaskan,
“cita-cita kepada persatuan hati dan persaudaraan segala bangsa dan manusia
adalah bagus dan baik, akan tetapi, supaya tercapai maksud itu, haruslah dulu
ada kemerdekaan bangsa.”
Artinya, kata Bung Hatta, hanya
bangsa-bangsa dan manusia yang sama derajat dan sama merdeka yang bisa
bersaudara. “Tuan dan budak susah mendapat persaudaraan, kan?” gugat Bung
Hatta. Dengan demikian, persaudaraan atau humanisme seutuhnya pun tidak
mungkin terwujud jikalau masih ada penindasan bangsa atas bangsa.
Kata-kata Bung Hatta ini menohok
langsung pendirian kaum internasionalis maupun penganut humanisme universal,
yang selalu menegasikan antara kebangsaan bagi kaum bangsa terjajah dan
internasionalisme. Sebaliknya, Bung Hatta beranggapan, perjuangan kebangsaan
bagi bangsa terjajah merupakan upaya pemulihan rasa kemanusiaan itu sendiri.
Maklum, kolonialisme menginjak-injak martabat manusia.
Betapapun, Bung Hatta juga
menyadari, ekspresi kebangsaan itu tidaklah tunggal. Ia sangat tahu, terkadang
semboyan “membela kehormatan bangsa” digunakan oleh klas tertentu, termasuk
kaum borjuis, untuk kepentingan ekonomi-politiknya. “Rakyat yang banyak hanya
dipakai mereka sebagai perkakas saja. Rakyat menderita azab dunia di atas medan
peperangan, menjadi umpan pelor dan gas racun,” kata Bung Hatta.
Bung Hatta pun membagi semangat
kebangsaan dalam tiga kategori: ada kebangsaan ningrat, kebangsaan intelek, dan
kebangsaan rakyat. Tiga kategori ini pernah eksis dalam sejarah perjuangan
bangsa-bangsa di dunia.
Kebangsaan ningrat berarti
kebangsaan yang menempatkan kaum ningrat di puncak kekuasaan. Artinya,
sekalipun jumlah rakyat berlimpah-limpah, tetapi yang diakui keberadaannya
hanya kaum ningrat. Dengan demikian, ketika Indonesia merdeka, kaum ningrat
berkeinginan memegang kendali politik.
Kemudian, ada kebangsaan kaum
intelek. Menurut cita-cita kebangsaan ini, kaum intelektual-lah yang harus
memegang kekuasaan pasca Indonesia merdeka. Sebab, bagi mereka, negara ini tidak
akan maju dan makmur kalau tidak dikemudikan oleh kaum intelektual. Memang,
konsep kebangsaan ini menolak keras model kekuasaan turun-temurun menurut garis
keturunan. Sebaliknya, mereka mengajukan bahwa hanya orang-orang cakap-lah yang
pantas memimpin.
Selain itu, seperti dijelaskan Bung
Hatta, konsep ini sangat meremehkan rakyat jelata. Bagi mereka, rakyat miskin
itu lebih banyak bekerja untuk mencari nafkah hidup, sehingga tidak punya waktu
untuk memikirkan politik. Karena itu, mereka tak usah diberi ruang untuk
mengurus kehidupan negeri. Mereka cukup mengikut saja.
Bung Hatta menolak dua konsep
kebangsaan di atas. Ia lebih tertarik pada konsep kebangsaan ketiga,
yakni kebangsaan rakyat. Bagi konsep ini, kebangsaan apapun tidak akan berguna
tanpa adanya rakyat. Pemerintahan yang berjalan mestilah berdasarkan kemauan
atau kehendak rakyat. Pendek kata, konsep ini menempatkan rakyat di atas
singgasana kekuasaan.
Konsep kebangsaan Bung Hatta
meletakkan rakyat sebagai protagonis-nya. Ia meletakkan rakyat sebagai
dasar dari eksistensinya bangsa itu sendiri. Memang, tak ada bangsa tanpa
rakyat. “Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun,”
tandasnya.
Bangsa adalah kumpulan manusia yang
tersusun sekaligus terbelah. Ada bangsa, seperti Indonesia, berhasil disusun
dari keragaman suku, agama, dan adat-istiadat. Namun, pada aspek lain,
masyarakat Indonesia itu terbelah dalam klas-klas. Dengan demikian, bangsa
bukanlah sebuah komunitas yang stabil.
Tetapi Bung Hatta juga Bung Karno sudah
menyadari keadaan itu. Karena itu, dalam menyusun konsep kebangsaannya, Bung
Hatta memperlihatkan keberpihakan yang jelas dan tegas kepada rakyat banyak.
Bung Hatta, seperti juga Bung Karno, tidak menghendaki Indonesia merdeka jatuh
ke tangan ningrat, borjuis, ataupun di tangan segelintir kaum intelektual. Bung
Hatta menghendaki agar Indonesia merdeka jatuh di bawah kekuasaan rakyat.
Konsep kebangsaan Bung Hatta
tidaklah bervisi pendek. Ia tak sekedar mengejar kemerdekaan. Akan tetapi,
kebangsaan Bung Hatta menghendaki sebuah masyarakat yang bisa menegakkan
kemanusiaan setingi-tingginya, tanpa diganggu oleh penghisapan dan penindasan
dalam bentuk apapun
BAB
III
Penutup
A.
Kesimpulan.
Membicarakan
Bung Hatta tidak akan pernah habis untuk beberapa dekade,dan mungkin beberapa
abad yang akan datang karena sangat kaya akan visi, gagasan,dan contoh-contoh
konkret yang dialami oleh banyak orang. Dalam pribadinya nilainilai baik yang
positif dari timur dan barat telah menyatu dalam format yang hamper sempurna.
Tetapi pertanyaan yang masih merisaukan adalah: pandaikah atau lebih
provokatif lagi.
Bung Hatta merupakan konseptor utama tentang kedaulatan rakyat. Rakyat adalah
yang utama. Baik semasa pergerakan maupun sesudah kemerdekan, rakyat menjadi
titik sentral perjuangan Bung Hatta. Dengan pendidikan, rakyat harus dibuat
insaf akan harga dirinya. Sehingga ia bisa berpartisipasi dalam proses politik.
Rakyat merupakan raja atas dirinya sendiri. Dengan berpegang pada prinsipnya
tentang kedaulatan rakyat, maka pemikiran-pemikirannya kemudian selalu setuju
pada rakyat seperti pada masalah kebangsaan dan perjuangannya kemudian dalam
memasukkan hak-hak rakyat dalam UUD 1945.
Bung Hatta
sampai akhir hayatnya merupakan tokoh yang konsisten antara perkataan dan
perbuatannya. Seperti yang dikatakan oleh Alfian dalam bukunya Pemikiran dan
Perubahan Politikdi Indonesia, Kumpulan Karangan, bahwa sikap dan tingkap laku
Bung Hatta kelihatan sebagai pantulan langsung dari apa-apa yang sebenarnya
menjadi buah pikirannya. Atau bisa dikatakan bahwa sikap dan tingkah laku Bung
Hattta yang terlihat sebenarnya merupakan personifikasi dari
pemikiranpemikirannya.Apa yang mungkin kurang jelas disampaikannya dalam bentuk
karya tulisan atau pemikiran, hal itu akan lebih mudah dimengerti melalui sikap
dan tingkah laku yang diperlihatkannya. Di samping berbagai julukan yang
dimengerti melalui sikap dan tingkah laku yang diberikan kepada Bung Hatta
ddari seorang pahlawan Proklamator, Bapak Koperasi, negarawan, demokrat sejati,
cendekiawan, atau satu lagi yang tidak bisa dilupakan, bahwa Bung Hatta adalah
sebagai guru bangsa,sebagai pendidik negeri yang sejati, dalam politik,
ekonomi, dan moral. Guru dalam teori dan praktik.Kecintaannya pada rakyat yang
diperjuangkannya dibuktikan sampai akhir hayatnya.
Daftar
pustaka
Kurniawan. Gilang, 2012, Pemikiran Bung Hatta, diunduh dari http://gilangkurniawanbustami.blogspot.com
pada tanggal 05 april 2014
Kusno , 2012, Bung
Hatta Dan Konsep Kebangsaannya, diunduh dari http://www.berdikarionline.com
pada tanggal 05 april 2014