Environmental Governance, Good Governance, dan
Good Environmental
Governance
Environmental
Governance
Environmental
Governance merupakan konsep
dalam ekologi politik dan kebijakan lingkungan yang menganjurkan pembangunan
berkelanjutan yang mempedulikan lingkungan
sebagai pertimbangan tertinggi untuk mengelola sebuah Negara sebagai
kegiatan politik, sosial dan ekonomi.[1]
Bagi Juda[2]Environmental Governance juga
membicarakan mengenai penyusunan baik secara formal ataupun informal,
institusi, dan faktor lain yang menentukan bagaimana sumber daya atau
lingkungan di gunakan sebaik mungkin. Environmental
Governance juga membicarakan mengenai bagaimana permasalahan dan kesempatan
dapat dievaluasi dan dianalisa sebaik mungkin. Bagaimana sebuah perbuatan
dianggap terlarang ataupun dapat diterima, dan juga mengenai sanksi dan
peraturan yang diaplikasikan untuk memberikan efek kepada pola perbuatan
penggunaan sumber daya ataupun lingkungan.”
Kepemerintahan lingkungan (Environmental Governance) menurut Mugabe dan Tumushabe sebagian
dibangun berdasarkan dua konsep, yakni konsep manajemen dan kepemerintahan
lingkungan. Konsep Environmental
Governance sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan dari
nilai-nilai dan norma-norma yang memandu atau mengatur hubungan antara negara
dan masyarakat dalam penggunaan, pengawasan, dan manajemen dari lingkungan
alam. Nilai-nilai dan norma-norma ini diekspresikan dalam suatu rantai yang
kompleks yang terdiri atas peraturan, kebijakan, dan institusi yang mengatur
sebuah mekanisme organisasi dalam mengartikulasikan sasaran yang luas dan
target perencanaan yang spesifik dari manajemen lingkungan. Environmental Governance menyediakan
sebuah kerangka kerja konseptual dimana tingkah laku publik dan swasta diatur
dalam mendukung pengaturan yang lebih berorientasi ekologis. Kerangka kerja
tersebut membentuk hubungan timbal balik antara masyarakat (global, regional,
nasional, dan lokal) dalam berhubungan dengan akses dan penggunaan barang dan
jasa lingkungan serta mengikat mereka (dalam tingkatan apapun) dengan
etika-etika lingkungan spesifik tertentu.[3]
Good Governance
Good
Governance merupakan sebuah
konsep lama guna menjalankan pemerintahan yang telah di kenal dalam kajian ilmu
politik. istilah “Good Governance”
telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan
pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik
(UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada
juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government)[4]
Governance itu sendiri mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan
dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dalam konsep
governance ini
terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Definisi
yang dirumuskan IIAS yang lalu di
kutip oleh sofian effendi dalam jurnalnya adalah “the process
whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact
policies and decisions concerning public life, economic and social development.”[5] Yang artinya adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang
kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan
tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial.
Untuk mewujudkan pemerintahan berdasarkan konsep Good Governance ini, disebutkan ada tiga
pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan Good Governance, yakni: pemerintah (the state), civil society (masyarakat
adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha.[6]
Dalam Good
Governance, terdapat sembilan karakteristik yang harus di penuhi[7];
1.
Partisipasi/
participation. Masyarakat dan atau
stakesholder terkait harus memiliki suara dalam pengambilan keputusan, baik
secara langsung atau melalui lembaga sah yang mewakili kepentingan mereka.
2.
Aturan
hukum/ rule of law. Kerangka hukum
harus adil dan menyelenggarakan undang-undang yang tidak memihak, hukum
tertentu diatas hak asasi.
3.
Keterbukaan/transparency. Keterbukaan dibangun atas
mengalirnya informasi yang bebas. Dalam proses, institusi dan informasi diakses
langsung untuk urusan mereka, dan informasi yang cukup disediakan untuk
memahami dan memonitoring mereka.
4.
Kepekaan/
responsiveness. Institusi dan proses
mencoba untuk melayani semua stakesholder.
5.
Musyawarah
mufakat/consensus of orientation.
Tata kelola pemerintahan yang baik menengahi kepentingan yang berbeda untuk
mencapai konsensus luas diatas kepentingan yang terbaik dari kelompok dan
dimana kemungkinan pada kebijakan dan prosedur.
6.
Keadilan/
equity. Masyarakat memiliki kesempatan
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
7.
Efektif
dan efisien/ effectiveness and efficiency.
Proses dan institusi memberikan hasil yang memenuhi kebutuhan sementara membuat
kegunaan yang terbaik dari sumber daya.
8.
Akuntabilitas
publik/ accountability. Pembuat
kebijakan yaitu pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat bertanggung jawab
pada publik, serta untuk stake holder kelembagaan. Akuntabilitas ini berbeda,
tergantung pada organisasi dan apakah kepeutusan itu bersifat internal atau
eksternal untuk organisasi.
9.
Visi
strategis/ strategic vision. Pemimpin
dan publik memiliki perspektif luas pada tata kelola pemerintah yang baik dan
pengembangan manusia, bersama dengan rasa apa yang di butuhkan untuk
pengembangan tersebut. Ada juga pandangan tentang sejarah, budaya, dan sosial
kompleksitas dalam dasar perspektif.
Good Environmental
Governance
Pemerintahan yang sudah mampu
mewujudkan Good Governance belum tentu memiliki kepedulian
terhadap aspek keberlanjutan ekosistem. Seperti yang diusung oleh
environmetalism. Oleh sebab itu pemerintah yang
telah mengupayakan aktualisasi prinsip-prinsip Good
Governance masih memerlukan persyaratan tambahan yaitu
mengaitkan seluruh kebijakan pembangunan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan
ekologi (ecological sustainability)[8]
agar dapat dikatakan sebagai good
environmental governance
Menurut Siahaan[9]
azas-azas penyelenggaraan negara yang baik dalam mengelola lingkungan dengan
prinsip keberlanjutan sumber daya (sustainability) disebut dengan
prinsip Good Environmental Governance (GEG). Sedangkan menurut world
bank dalan Belbase[10].
“...it necessary to
achieve the sustainable use of resources and the protection of environmental
quality. This objective requires a atransparent system of well-functioning
environmental institutions, policies, and programs that actively involve the
public in their formulation and implementation.”
Hal tersebut menjelaskan bahwa Good Environmental Governance merupakan sebuah kegiatan penting
untuk mensukseskan penggunaan sumber daya alam secara bekelanjutan dan
melindungi kualitas lingkungan. Kegiatan ini membutuhkan transparansi sistem
pada institusi lingkungan, kebijakan dan program-program yang melibatkan
masyarakat dalam merumuskan dan penerapan kebijakan-kebijakan. Selain itu,
budiati[11]
berpendapat Environmental Governance
sebagai framework pengelolaan negara melalui interaksinya dengan rakyat, dalam
rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Elemen-elemen dalam Good
Environmental Governance menurut belbase[12]
yaitu ;
1.
Aturan Hukum (the
rule of law)
Konsep pertama dalam aturan hukun adalah agar tidak
terjadi tindakan sewenang-wenang oleh pemerintah dari aturan hukum itu sendiri
dan yang kedua adalah aturan hukum diletakkan pada fakta bahwa hukum harus
legal dan berdasarkan pada keinginan rakyat. Dari kedua aspek tersebut dapat
dilihat bahwa aturan hukum bertujuan untuk menghindarkan terjadinya
kesewenang-wenangan oleh pemerintah atau pihak yang berkuasa tanpa
memperhatikan keinginan rakyat.
Elemen-elemen dalama aturan hukum ;
a.
Sebuah
badan legislatif yang memberlakukan undang-undang yang menghormati konstitusi
dan hak asasi manusia.
b.
Sebuah
sistem peradilan yang independen
c.
Sebuah
sistem hukum yang menjamin persamaan hak di hadapan hukum
d.
Sebuah
layanan yang mudah didapat, efektif, dan independen
e.
Sebuah
sistem penjara yang menghormati pribadi manusia
f.
Seorang
polisi pada layanan hukum
g.
Keefektifan
badan eksekutif yang mamu menegakkan hukum dan menetapkan kondisi sosial dan
ekonomi yang diperlukan bagi kehidupan di masyarakat dan tunduk pada hukum.
h.
Kemiliteran
yang berjalan dibawah kontrol sipil dengan batasan konstitusional
2.
Partisipasi dan Reperesentasi (participation and representation)
Partisipasi menurut Davis sebagaimana dikutip oleh Sastro
Poetro[13] “Participation is define as mental and
emotional involment of a person in a group situation which encourage him to
contribute to group goals and share responsibility in them”. Yang bermakna,
partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam sebuah
situasi kelompok yang mendorongnya untuk berkontribusi terhadap apa yang
menjadi tujuan kelompok dan turut bertanggung jawab akan tujuan dari kelompok
tersebut.
Partisipasi itu sendiri dibagi menjadi dua sifat, yakni
partisipasi aktif, dan partisipasi pasif. Partisipasi pasif dapat diartikan
bahwa dalam setiap sikap, perilaku dan tindakannya seeorang individu tersebut
tidal melakukan hal-hal yang mengakibatkan pada terhambatnya suatu kegiatan
pembangunan atau pencapaian pada tujuan. Sedangkan partisipasi aktif dapat
diartikan sebagai sikap aktif seseorang dalam memenuhi kewajibannya dalam suatu
kelompok, dimana individu tersebut juga turut memikirkan nasib kelompoknya,
memiliki kesadaran bernegara dan bermasyarakat, serta taat akan ketentuan atau
peraturan yang telah ada.[14]
Setidaknya ada tiga hal pokok yang terdapat dalam arti
partisipasi[15]:
1.
Titik
berat partisipasi adalah pada keterlibatan mental dan emosional, kehadiran
secara pribadi atau fisik semata-mata dalam suatu kelompok tanpa keterlibatan
mental dan emosional bukanlah termasuk partisipasi.
2.
Kesediaan
untuk memberikan kontribusi bergerak. Wujud kontribusi dalam pembangunan adalah
macam-macam, seperti barang, jasa, uang, buah pikiran, dan sebagainya.
3.
Keberanian
untuk menerima tanggung jawab atas suatu usaha atau umtuk mengambil bagian
dalam pertanggung jawaban.
Sherry Arnstein mendefinisikan strategi partisipasi
yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan
badan pemerintah (agency). Dengan pernyataannya bahwa partisipasi masyarakat
identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power),
Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana setiap anak tangga
mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi
kekuasaan.[16]
Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa adanya
sebuah partisipasi (non participation), yang meliputi: (1) manipulasi
(manipulation) dan (2) terapi (therapy). Kemudian tanak tangga selanjutnya,
yakni (3) menginformasikan (informing), (4) konsultasi (consultation), dan (5)
penentraman (placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan
tokenisme (degree of tokenism) yang dapat diartikan sebagai kebijakan
sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan
simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi hanya dimaksudkan sekadar untuk
menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguh-sungguh untuk
melibatkan masyarakat secara bermakna. Tangga selanjutnya tiga anak tangga
teratas adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian wewenang /
kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control).
Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan
yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi
masyarakat.[17]
Sumber : data diolah tahun 2016
Berikut penjelasan dari gambar tangga partisipasi
Arnstein untuk memudahkan pemahaman yang ada[18]
:
1. Manipulasi (manipulation). Di level Manipulation,
terlihat lebih memilih dan mendidik sejumlah orang sebagai wakil dari publik. Fungsinya,
ketika mereka mengajukan berbagai program, maka para wakil publik tadi harus
selalu menyetujuinya. Sedangkan publik sama sekali tidak diberitahu tentang hal
tersebut
2. Terapi (therapy). Pada level ini telah terlihat
adanya komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan
hanya satu arah.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan
sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan
untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan
oleh pemegang keputusan. Peran serta masyarakat pada jenjang ini memiliki
kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.
3. Informasi (information). Pada jenjang ini
komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak
ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi
masyarakat belum diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back).
4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi
ini komunikasi yang ada telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat
partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan
pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan,
tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun
perubahan akan terjadi.
5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi
telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi yang terjadi antara masyarakat dan
pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan
usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai
kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.
Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang
sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses
pengambilan keputusan.
6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi
ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah
diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan,
baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada
masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses pada proses pengambilan
keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan.
7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Pada
tahap ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat
untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan
yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.
8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga
teratas partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan
untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan
pemerintah.
Adanya partisipasi langsung dari masyarakat akan memiliki
efek yang signifikan terhadap kondisi sosial politik yang ada, yaitu ;
1.
Mengembangkan
kesadaran masyarakat mengenai sosial, politik, dan lingkungan.
2.
Meningkatkan
rasa toleransi, empati dan pluralisme.
3.
Meningkatkan
kesadaran implikasi dari tindakan-tindakan individu pada lingkungan dan konteks
lingkungan.
4.
Membangkitkan
pemberdayaan komunitas sebagai individu maupun kelompok-kelompok mengenali
kapasitas mereka untuk mempengaruhi dan merubah sekitarnya.
Karena jika pemerintah tidak menyediakan kesempatan bagi
masyarakat lokal dan komunitas-komunitas lingkungan untuk berkontribusi pada
proses pengambilan keputusan maka akan menimbulkan konflik dan perlawanan dari
masyarakat. Karena itu partisipasi masyarakat dari individu ataupun kelompok
sangat dibutuhkan.
3.
Akses terhadap informasi (acces to information)
Merupakan penyediaan informasi yang berhubungan dengan
lingkungan dan mekanisme penyediaan informasi lingkungan oleh pemegang
wewenang. Sehingga diharapkan masyarakat mengetahui informasi terkini terkait
sumberdaya alam mereka dan informasi terkait lingkungan sekitarnya. Ini menjadi
tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan informasi tersebut sebagi pemenuhan
hak akan informasi pada masyarakat.
4.
Transparansi dan akuntabilitas (transparency and accountability)
Transparansi merupakan sebuah kejelasan informasi yang
mencangkup laporan sebenarnya di lapangan, proses pengambulan keputusan dan
hasil dari keputusan itu seperti apa. Sedangkan akuntabilitas merupakan bentuk
tanggungjawab yang ada dalam organisasi.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) memberikan
definisi bahwa asas transparansi diperlukan agar pengawasan oleh masyarakat dan
dunia usaha atau swasta terhadap penyelenggaraan negara dapat dilakukan secara
objektif. Transparansi diperlukan dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan
anggaran. Penyediaan informasi melalui sistem informasi dan dokumentasi harus
dapat dengan mudah diakses oleh pilar di luar pemerintah.[19]
Transparansi adalah sebuah prinsip yang menjamin
kebebasan atau akses bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi terkait
penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam hal penyusunan kebijakan ataupun
pelaksanaan dari sebuah kebijkan dan hasil-hasil yang dicapai. Prinsip
transparansi ini menekankan pada dua aspek, yakni pada komunikasi publik dan
akses terhadap informasi.[20]
5.
Desentralisasi (decentralitation)
Desentralisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai
penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada
daerah, baik dalam hal penyerahan tugas, kewajiban, kewenangan dan juga
tanggung jawab. Desentralisasi diharapkan agar daerah yang bersangkutan dapat
mengatur dan mngurus rumah tangganya sendiri.[21]
Desentralisasi berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan sebagai
“Pembagian daerah indonesia atas dasar
daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawarahan dalam
sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.”
Desentralisasi dalam Good
Environmental Governance ditekankan pada permasalahan sejauh mana hak
pengelolaan sumberdaya alam di tempatkan. Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 Ayat 2 disebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.” Serta Ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Meninjau dari peraturan yang berlaku di Indonesia, maka
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada merupakan kewenangan negara dan
tidak semerta-merta dimiliki oleh rakyat, sehingga jika suatu sumberdaya alam
berada disekitar pemukiman rakyat, tidak berarti menjadi hak rakyat sekitar dan
tetap harus dikelola oleh negara.
Negara dalam pengelolaannya menjadi tanggung jawab dari
kementerian terkait, dalam hal ini pengelolaan sumberdaya alam yang berada di
daerah dikelola oleh pusat yang berada jauh dari letak sumberdaya alam itu
berada. Desentralisasi
dalam hal ini diharapakan dapat terlaksana hingga pada level paling bawah.
Pengelolaan lingkungan ini bisa dimulai dari level pemerintahan pusat, turun
pada tingkat regional dan turun lagi hingga pada level lokal. Karena pada
dasarnya mereka yang berada pada level lokal lebih memahami permasalahan dan
situasi yang sedang dihadapi sehingga diharapkan dari hal itu dapat diperoleh
sebuah keputusan yang tepat sesuai dengan kondisi yang ada dan tidak merugikan
banyak pihak.
6.
Lembaga dan Institusi (institutions and agencies)
Keberadaaan dari lembaga dan institusi sangatlah penting
karena mengacu pada norma-norma informal, peraturan dan organisasi yang
mengkoordinasikan perilaku manusia. Sehingga kehadiran lembaga dalam
masyarakat diharapkan dapat menghasilkan
informasi, memberikan suara warga, menanggapi umpan balik dan mendorong
pembelajaran bagi masyarakat tingkat lokal. Lembaga dan institusi yang ada juga
harus menyeimbangkan kepentingan dengan menegosiasikan perubahan dan
kesepakatan dengan menhindari kemandekan dan konflik.
Pemerintahan yang peduli lingkungan sebaiknya menyediakan
terendiri lembaga khusus yang menaungi bidang lingkungan dan juga perihal
konservasi alam. Pembentukan suatu lenbaga yang menaungi urusan lingkungan dan
konservasi merupakan bentuk keseriusan dari pemerintahan yang ada untuk turut
serta dalam mengelola dan menjaga lingkungan yang ada dengan baik dan
berkelanjutan. Lembaga tersebut juga harus dibentuk mulai dari tingkat
pemerintahan pusat dan turun ke tingkat pemerintahan provinsi masing-masing.
Sehingga pelaksanaan pemerintahan lingkungan dapat berjalan dengan baik dan good environmental governance pun akan
tercipta.
7.
Akses untuk memperoleh keadilan (acces to justice)
Akses hukum tidak hanya berarti terkait ketersediaan
layanan peradilan, akan tetapi juga berarti peningkatan kapasitas untuk
menggunakan layanan peradilan, yang diharapkan dalam peningkatan kapasitas
penggunaan layanan peradilan ini dapat memberikan konstribusi untuk
meningkatkan akuntabilitas pelayanan dan menjamin hak-hak masyarakat.
Sehingga akses terhadap keadilan adalah akses ke
informasi lingkungan, hak untu berpartisipasi, dalam proses pengambilan
keputusan dan akses terhadap hukum prosedur proses, dan instansi yang telah
diberlakukan dan ditetapkan untuk memenuhi hak-hak lingkungan masyarakat. Akses
keadilan merupakan merupakan aspek penting dari akuntabilitas karena
menyediakan jalan untuk menegakan kewajiban dan hak-hak lingkungan substansial
dan prosedural.
[2] ARCTIC TRANSFORM, 2009, Transatlantic Policy Options for Supporting
Adaptations in the Marine Arctic, http://www.arctic-transform.org ,diunduh pada
tanggal 28 Maret 2015
[3] Teguh Kurniawan, Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan
(Environmental Governance) di Indonesia, di unduh
dari teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id pada tanggal 28 Maret 2015
[4] Sofian Effendi,
2005, Membangun Good Governance: Tugas
Kita Bersama di
unduh dari www.sofian.staff.ugm.ac.id
pada tanggal 1 November 2015
[5]Ibid.,
[6]ibid.,
[7]UNDP,
1997, Governance For Sustainable Human
Development A UNDP Policy Development , New York :UNDP Governance Policy Paper
[8] Pandji
Santosa , 2008, Administra Publik : Teori
Dan Aplikasi Good Governance, Bandung : PT. Refika Aditama, hlm. 131.
[10]Narayan
Belbase, 2010, Environmental Good
Governance In The Future Constitution In Nepal, hlm. 4-13, IUCN Nepal
[11]Lilin
Budiati, 2012,Good Governance Dalam Pengelolaan Lingkungab Hidup, hlm
65, Bogor:Ghalia Indonesia
[12].Belbase,
Loc. Cit.,
[13] Santoso Sastropoetro,
1988, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi
Dan Disiplin Dalm Pembangunan Nasional. Jakarta : alumni, hlm. 13
[14]Sondang P Siagian,
1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Cetakan Ketujuh Bumi
Aksara, hlm 2.
[15] Tazaliduhu
Ndraha , 1980, Pembangunan Masyarakat
Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 26
[16] Sherry
Arnstein,
1969,
A
Ladder of Citizen Participation, Journal of the American
Institute of Planners, Vol. 35, No. 4, hal 216-224.
[20]
Krina, P, 2003, Indikator Dan Alat Ukur
Prinsip Akuntabilitas, Transparansi Dan Partisipasi, Sekretariat Good
Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta
[21] Sulaiman N.
Sembiring, 1999, Kajian Hukum Dan
Kebijkaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Indonesia(Menuju Pengembangan
Desentralisasi Dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat), Jakarta:
Perpustakaan Nasional, hlm. 68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar