BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemilihan Umum dan Pemilihan
Umum Legislative di Indonesia
2.1.1 Definisi
Pengertian
pemilu menurut Sukarna, pemilu adalah suatu alat atau cara untuk memperoleh
wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat dan bertanggung
jawab atas hasil-hasilnya.[1]
Menurut pasal 1 angka 1 UU no 10 tahun 2008, pemilihan umum adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD Neagara tahun 1945. Sedangkan menurut
Ramlan Surbakti,[2]
yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemilihan umum merupakan mekanisme
pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon
anggota legislatif (pusat dan daerah), presiden/wakil presiden, dan kepala
daerah/wakil kepala daerah untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik
sesuai dengan kehendak rakyat. Mekanisme pendelegasian ini dilakukan secara
periodik dan tertib agar terjadi suatu sirkulasi elit yang elegan, yang
bertujuan untuk memindahkan berbagai macam perbedaan dan pertentangan
kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk
dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab. Atau dapat diartikan bahwa
pemilu itu merupakan tahapan pengkovsersian suara rakyat menjadi kursi dalam
sebuah pemerintahan, dimana suara-suara rakyat yang terkumpul dari hasil vote
tersebut di akumulasikan dan dijadikan sebagai standar penghitungan dalam
perebutan kursi pemerintahan.
Sistem vote disini
dianggap sejalan dengan demokrasi yang dianut oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan pemerintahannya, yakni demokrasi representative, dimana
memungkinkan setiap kelompok mengirimkan perwakilan-perwakilan mereka
didalamnya guna memperebutkan kursi kekuasaan. Hal ini pulalah yang mungkin
menjadi pertimbangan ketika mendesain suatu sistem pemilihan umum, yaitu
representasi (keterwakilan) suara dan akuntabilitas kandidat terpilih. Hal ini
pula yang kemudian menimbulkan pemilihan sistem pemilihan umum atas dua arus
pemikiran. Dua arus pemikiran tersebut adalah : pertama, konsep mikrokosmos
yang mengandaikan legislatif adalah sampel dari populasi masyarakat atau
miniatur masyarakat, sehingga legislatif harus merefleksikan besaran
masyarakat, bagaimana mereka berfikir, merasa, dan bertindak; dan kedua, konsep prinsipal-agen yang mengandaikan bahwa legislatif merupakan
pemegang kuasa rakyat, yang bertindak mewakili kepentingan para pihak yang
memilihnya tanpa mempersoalkan komposisi statistik-sosiologis. Atas dasar
pemikiran tersebut, konsep pemikiran pertama diyakini dapat diakomodasi sebagai
sistem pemilihan umum proporsional, dan konsep pemikiran kedua mewakili sistem
pemilihan umum majority (di Indonesia, sistem pemilihan kedua ini menyebutnya
sebagai sistem distrik, suatu penyebutan yang tidak lazim dalam membahas sistem
pemilu, namun telah sering digunakan oleh para politisi dalam membahas sistem
pemilu).
Di Indonesia terdapat
tiga macam pemilu, yakni pemilu presiden yang di adakan guna memilih presiden
dan wakilnya, lalu pemilu legislative yang digunakan memilih anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dan yang ketida pilkada yang diadakan
guna memilih kepala daerah yang mana ketiga pemilihan umum itu di lakukan
secara periodic selama lima tahun sekali
2.1.2 Sejarah
Dalam sejarah sistem
demokrasi, di Indonesia telah terjadi ragam rekonstruksi sistem. Sejak pemilu
1955-1999 pesta demokrasi digelar dengan sistem proporsional tertutup dimana
para calon legislatif ditentukan oleh partai. Pemilih tidak secara terbuka
mengetahui siapa-siapa yang bakal menjadi wakil mereka karena dalam surat suara
tidak ada nama-nama caleg, yang ada hanya gambar partai saja. Sistem ini
dianggap tidak responsif akan perubahan-perubahan yang terjadi pada
caleg-celegnya.
Kemudian pada pemilu
2004, sistem tersebut mengalami rekonstruksi yakni dengan menerapkan sistem
semi proporsional terbuka. Pada sistem ini, suara tidak sah membledak dari 3,7
juta sampai 10, 96 juta. Hal tersebut terjadi lantaran sistem semi terbuka
tidak terstruktur dengan definisi suara sah dan tidak sah. Saat itu, nama caleg
dan partai terpampang dalam surat suara. Namun, suara sah jika pemilih
mencoblos partai saja atau mencoblos partai dan caleg. Tidak sah jika pemilih
hanya memilih caleg saja. Kejadian itu pun berujung pada perubahan sistem,
yakni sistem proposional terbuka.
Pemilu tahun 2009
tersistem dengan proposional terbuka yaitu selain memilih tanda gambar, pemilih
juga berhak memilih langsung caleg. Sistem ini berdampak pada pertentangan
antar sesama caleg maupun partai. Sistem yang “katanya” menerapkan sistem
proposional terbuka masih menunjukan sikap otoritarian partai dimana daftar
calon tidak berdasarkan suara terbanyak tapi berdasarkan urutan atau rangking.
Jelas bahwa ketimpangan ini lah yang melangkahkan pada rekonstruksi sistem
pemilihan umum tahun 2014.
Sistem pemilu legislatif
tahun 2014 sepertinya tidak jauh-jauh dengan masa sebelumnya. Bedanya, mau
caleg diurutan berapa pun jika mempunyai suara terbanyak maka dialah yang akan
menang. Pada sistem ini, aktor utamanya adalah caleg, bukan partai. Jadi semua
memiliki peluang yang sama sehingga alat yang cepat untuk memenangkan kompetisi
ini adalah uang. [3]
2.2
Sistem Pemilu Legislative di Indonesia
Dalam membahas tentang
sistem pemilu legislative di Indonesia ini saya akan berlandaskan pada
undang-undang yang telah ditetapkan guna mengatur sistem pemilu itu sendiri,
diantaranya :[4]
·
Pasal 18 (3): Pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
·
Pasal 19 (1): Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
·
Pasal 22 C (1): Anggota Dewan Perwakilan
Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.; (2) Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh
anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari seperti jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat.
·
Pasal 22 E: PEMILU
Dalam kajian kali ini
penulis hanya akan memfokuskan kajiannya untuk mengkaji Undang-Undang yang
mengatur tentang pemilihan anggota legislatif yaitu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota. Di Pasal 1 UU No. 10 tahun 1998 disebut yang berhak
untuk melaksanakan Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana KPU adalah
lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU
berdiri di tingkat nasional, daerah tingkat I dan II. Sementara yang berada di
luar negeri disebut PPPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri). Tempat pemungutan
suara disebut TPS dan penyelenggaranya disebut Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS). Kemudian tempat pemungutan suara di luar negeri
disebut TPSN dan penyelenggarnya disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang dibentuk oleh PPLN setempat. Untuk pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil
maka dibentuk juga Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk tingkat nasional,
untuk tingkat provinsi dan kabupaten disebut Panwaslu (Panitia pengawas pemilu)
tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Panwaslu nantinya akan membentuk Panitia
Pengawas di lapangan untuk mengawasi pelaksanaan pemilu di setiap TPS.
Sementara untuk yang di luar negeri disebut Panitia Pengawas Luar Negeri yang
dibentuk oleh Bawaslu. Peserta dari
pemilu legislatif adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan untuk
ikut dalam pemilu dimana nanti kalau sampai terpilih menjadi anggota DPR, DPRD
Tk. I dan II, sementara untuk untuk yang perorangan menjadi anggota DPD.
Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR adalah
bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh
Partai Politik Peserta
Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5% (tiga koma lima
perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan
jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi
Partai Politik Peserta Pemilu. Sementara bilangan pembagi pemilihan bagi kursi
DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD adalah bilangan yang diperoleh dari
pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk
menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya
anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebelum pemilihan suara
dilakukan para peserta pemilu diperbolehkan untuk berkampanye untuk
menyampaikan visi & misinya kepada masyarkat apabila mereka terpilih.
Di Pasal 4 dijelaskan
bahwa Pemilu legislatif dilaksanakan lima tahun sekali dengan urutan
pelaksanaan sebagai berikut:
a.
pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b.
pendaftaran Peserta Pemilu;
c.
penetapan Peserta Pemilu;
d.
penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e.
pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
f.
masa kampanye;
g.
masa tenang;
h.
pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan pada hari libur atau hari
yang diliburkan;
i.
penetapan hasil Pemilu; dan
j.
pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Untuk pemilihan anggota
DPR & DPRD Tk. I & II dilaksanakan secara proporsional terbuka,
sementara untuk pemilihan anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik
berwakil banyak. Persyaratan bagi partai politik untuk bisa ikut pemilu antara
lain:
a.
Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b.
Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c.
Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan;
d.
Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e.
Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu
perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan
kartu tanda anggota;
f.
Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c;
dan
g.
Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
Sementara bagi partai
politik yang sudah pernah ikut serta dalam pemilu sebelumnya secara otomatis
langsung bisa ikut pemilu berikutnya. Untuk pemilihan anggota DPD haruslah
diajukan secara perseorangan dan persyaratannya adalah sebagai berikut:
a.
Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.
cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e.
berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah
(MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat;
f.
setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g.
tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h.
sehat jasmani dan rohani;
i.
terdaftar sebagai pemilih;
j.
bersedia bekerja penuh waktu;
k.
mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat
pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l.
bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan;m.
bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus
pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n.
dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o.
dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p.
mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan.
Kelengkapan
administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dibuktikan dengan:
a.
kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia.
b.
bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat
keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah.
c.
surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat;
d.
surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e.
surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f.
surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g.
surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h.
surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri
sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara;
i.
kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j.
surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik
untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai
cukup;
k.
surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) daerah pemilihan
yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Persyaratan dukungan
minimal bagi seseorang untuk bisa menjadi anggota DPD adalah sebagai berikut:
a.
provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus
mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
b.
provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan
5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit
2.000 (dua ribu) pemilih;
c.
provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan
10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit
3.000 (tiga ribu) pemilih;
d.
provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan
15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling
sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; atau
e.
provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus
mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.
Dukungan tersebut harus
tersebar di paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dan harus dibuktikan dengan daftar
dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi
kartu tanda penduduk setiap pendukung. Masyarakat tidak boleh memilih lebih
dari 1 calon anggota DPD dan itu menyebabkan suaranya batal. Penetapan waktu
pemilu legislatif ditentukan oleh KPU. Kelengkapan administrasi bakal calon
anggota DPD adalah sebagai berikut:
a.
kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b.
bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat
keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c.
surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat;
d.
surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e.
surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f.
surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g.
surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h.
surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri
sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
dan
i.
surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu) lembaga
perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Untuk penetapan jumlah
kursi DPR sebanyak 560 kursi, dimana daerah pemilihan berasal dari tingkat
provinsi & minimal ada 3 kursi dari setiap propinsi di DPR. Untuk penetapan
jumlah kursi DPRD Tk. I, paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak
100 (seratus). Ketentuan untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. I:
a.
provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa
memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
b.
provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan
3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi;
c.
provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan
5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh lima) kursi;
d.
provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan
7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh lima) kursi;
e.
provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan
9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f.
provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta) sampai
dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85 (delapan puluh
lima) kursi;
g.
provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta) jiwa
memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.
Daerah pemilihan
anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota dan
jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama
dengan Pemilu sebelumnya. Alokasi kursi yang disediakan adalah minimal 3 kursi
dan maksimal 12 untuk setiap daerah kabupaten/kota atau gabungan
kabupaten/kota.
Untuk penetepan jumlah
kursi DPRD Tk. II, paling sedikit 20 (dua puluh) dan paling banyak 50 (lima
puluh). Ketentuan untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. II:
a.
kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa
memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;
b.
kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai
dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25 (dua puluh lima)
kursi;
c.
kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu)
sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 30 (tiga puluh)
kursi;
d.
kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu)
sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh
lima) kursi;
e.
kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus ribu)
sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 40 (empat
puluh) kursi;
f.
kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu)
sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh
lima) kursi;
g.
kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa
memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.
Daerah pemilihan
anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan dan jumlah
kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan
Pemilu sebelumnya. Apabila ada penambahan jumlah kursi maka itu diberikan kepada
daerah dengan penduduk terbanyak. Alokasi kursi yang disediakan adalah minimal
3 kursi dan maksimal 12 untuk setiap daerah kecamatan atau gabungan kecamatan.
Untuk jumlah kursi
anggota DPD adalah empat kursi untuk masing-masing propinsi. Jadi, daerah pemilihan
anggota DPD berasal dari tingkat propinsi.
Pelaksanaan pemilu
dimulai tiga hari setelah penetapan daftar caleg (calon anggota legislatif)
tetap dan dilaksanakan selama 21 hari sampai masa tenang. Masa tenang berlaku
selama tiga hari baru setelah itu pelaksanaan pemilu dilangsungkan. Untuk
waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR dan DPD
ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi dengan Peserta
Pemilu. Demikian juga untuk pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota
ditetapkan oleh KPU setempat setelah berkoordinasi dengan para peserta pemilu.
Dana
pelaksanaan kampanye pemilu menjadi partai politik peserta pemilu
masing-masing. Sumber-sumber dana tersebut antara lain:
a.
partai politik;
b.
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik
yang bersangkutan; dan
c.
sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
Dana
tersebut bisa berupa uang, barang atau jasa. Dana yang diterima harus
dimasukkan dalam rekening khusus & tidak boleh dijadikan satu dengan
keuangan parpol. Pembukuan dana kampanye Pemilu dimulai sejak 3 (tiga) hari
setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu)
minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada
kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Dana kampanye Pemilu yang berasal dari
sumbangan pihak lain perseorangan tidak boleh melebihi 5 miliar rupiah.
Sementara dari pihak lain dari perusahaan atau badan usaha non-pemerintah tidak
boleh lebih dari 5 miliar rupiah. Baik dari perorangan maupun bukan harus
menampilkan identitasnya dengan benar dan jelas.
Penetapan
calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai
Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta
Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
a.
calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP;
b.
apabila calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya lebih banyak daripada jumlah
kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada
calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi
ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP;
c.
Bila terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan dengan perolehan
suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang
memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan
sekurang-kurangnya 30% dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100%
dari BPP;
d.
Bila calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang
diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi
diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e.
Bila tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP,
maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Penetapan
calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan.
Apabila perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama,
calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di
seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih.
KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon yang
memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di provinsi
yang bersangkutan.
2.3
Kecurangan-Kecurangan Yang Kerap Terjadi.
Berikut potensi kecurangan dalam Pemilu yang disengaja
atau pun tidak dan luput atau memang tidak terdeteksi oleh penyelenggara atau
pun oleh peserta dan masyarakat:[5]
- Perekrutan penyelenggara, dalam hal
ini terjadi perbincangan tentang siapa yang menjadi penyelenggara, selain
dari pihak dana guna menunjang kelancara pemilu disini juga diperlukan ke
indepensian calon penyelenggara dalam menjalankan tugasnya guna
menghindari kecurangan yang disebabkan penyelenggara lebih condong ke
salah satu calon.
- Daftar
Pemilih Tetap (DPT), dalam daftar pemilih terbuka peluang masuknya pemilih
yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan Pemilu. Selain
pada pelaksanaan Pemilu yang bersifat nasional, masuknya pemilih dari
propinsi dan kabupaten lain yang sengaja atau sukarela mendaftar dan/atau
didaftarkan oleh petugas pendaftaran pemilih. Masih terdapatnya pemilih
yang sudah tidak lagi berhak memilih dalam DPT karena berbagai sebab;
anggota TNI/Polri terlebih yang bertugas di lapangan dengan pakaian sipil
dan tidak terdeteksi oleh petugas pendaftar pemilih; pemilih yang
terdaftar lebih dari satu kali, bisa karena kelalaian petugas dalam
menghapus nama pemilih dimaksud atau bisa juga nama pemilih yang terdaftar
dengan nama berbeda untuk satu orang pemilih.
[6]
- Pencalegan, pada sisi ini hal yang
sering kali disoroti adalah akuntabitas calon, apakah calon itu
benar-benar telah lolos verifikasi calon.
- Kampanye, dalam kampanye tentu
banyak sekali terjadi kecurangan dalam hal ini saya akan memberikan contoh
tentang ‘Money Politik’ penggunaan uang untuk membeli suara pemilih masih
efektif digunakan guna mendulang suara sebanyak-banyaknya. Peraturan
perundang-undangan Pemilu belum secara efektif bisa menjerat pelaku dan
calon yang diuntungkan olehnya, biasanya yang membagi-bagi uang bukan tim
kampanye atau sebutan lainnya, tetapi oknum yang ddbayar untuk melakukan
itu. Sehingga saat tertangkap basah-pun, sanksi sulit secara langsung bisa
dikenakan kepada calon terlebih bila sang calon kemudian dinyatakan
terpilih dan terlantik sementara proses penanganan secara hukum belum juga
rampung. Beberapa elemen masyarakat masih memiliki prinsip pragmatis
“siapa yang memberi uang dia yang dipilih” atau “memilih siapapun sama
saja, jadi pilih saja yang memberi uang”, menyuburkan praktek politik uang
ini. Terlibatnya secara masif aparat pemerintahan dalam
pemenangan calon tertentu, menggiring suara pemilih dan terkadang juga
mendikte pemilih untuk memilih calon tertentu. Meskipun peraturan
perundang-undangan untuk itu sudah ada, keterlibatan aparat pemerintahan
masih kerap muncul. Keterlibatan ini bisa dimulai sejak rekruitmen
penyelenggara Pemilu sampai pada saat rapat pleno penghitungan suara
dilakukan. Beberapa aduan untuk praktek ini kerap sampai ke meja MK, tapi
karena tidak cukup bukti, tidak cukup memengaruhi perolehan suara dan
alasan lainnya, kerap kandas dan ditolak.
[7],
- Pencoblosan, merupakan tahap
krusial dan tahap yang menjajikan masa depan caleg, karena pasti akan
menjadi sorotan mata berbagai pihak, dalam hal ini saya memberikan contoh
‘Penggunaan surat suara
Pemilu yang tidak terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu’, praktek ini bisa dilakukan oleh penyelenggara
Pemilu di TPS bersama atau sendiri, diketahui atau tidak oleh para saksi,
pengawas, pemantau, masyarakat setempat. Dalam peraturan perundang-undangan
Pemilu, surat suara tidak terpakai karena ketidakhadiran pemilih harus
dinyatakan tidak berlaku dan diberi tanda centang [X], dicantumkan dalan
berita acara yang diketahui dan ditandatangani saksi-saksi. Meskipun
begitu masih saja terbuka peluang digunakannya surat suara tidak terpakai
secara diam-diam atau atas kerjasama antara oknum-oknum yang terlibat di
dalamnya.
- Rekapitulasi suara, dalam hal ini
kecurangan yang biasa terjadi adalah berubahnya perolehan suara pada saat rapat pleno
penghitungan suara dilakukan. Meskipun pada saat dilakukan penghitungan
suara dihadiri oleh para saksi, pengawas, pemantau, dan masyarakat,
kecurangan ini masih bisa dilakukan secara diam-dian atau atas kerjasama
antara mereka yang terlibat. Sangat mudah menambah entri pada saat
dilakukannya penghitungan suara terlebih bila itu dilakukan dengan media
komputer, pun penambahan entri secara diam-diam dalam penghitungan manual.
- Penetapan hasil, dalam hal terakhir
dan penentu ini kerap kali menemukan rintangan dalam penetapannya yang
biasanya terjadi karena ketidakpuasan pihak yang kalah akan hasil yang
telah didapat. Tidak jarang dalam proses ini diperlukan penjagaan akan
keamanan yang ekstra guna mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan.
Semua hal itu tentunya tidak lepas dari campur tangan
partai politik di dalamnya mengingat merekalah yang paling berkepentingan dalam
hal ini. Dan hal ini tidaklah lepas dari target partai politik yang telah
berubah, dimana mereka lebih mengedepankan pencapaian dan peraihan kekuasaan
sehingga mengesampingkan sportifitas, dan hal ini pulalah yang menyebabkan
proses pengkaderisasian didalam partai berjalan lambat dikarena kan kurang
terurusnya kader-kader muda karena partai lebih mementingkan sosok yang
memiliki popularitas dan segi ekonomi yang kuat seperti pengusaha.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan.
·
Pemilu itu merupakan tahapan
pengkonversian suara rakyat menjadi kursi dalam sebuah pemerintahan, dimana
suara-suara rakyat yang terkumpul dari hasil vote tersebut di akumulasikan dan
dijadikan sebagai standar penghitungan dalam perebutan kursi pemerintahan.
·
Menurut
pasal 1 angka 1 UU no 10 tahun 2008, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
Neagara tahun 1945.
·
Sejak pemilu 1955-1999 pesta demokrasi
digelar dengan sistem proporsional tertutup, pada pemilu 2004 menerapkan
sistem semi proporsional terbuka, dan Pemilu tahun 2009 tersistem dengan
proposional terbuka.
·
Pelaksanaan pemilu legislative sendiri
telah termuat dalam undang pasal 4 dengan ketentuan sebagai berikut :
a.
pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b.
pendaftaran Peserta Pemilu;
c.
penetapan Peserta Pemilu;
d.
penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e.
pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
f.
masa kampanye;
g.
masa tenang;
h.
pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan pada hari libur atau hari
yang diliburkan;
i.
penetapan hasil Pemilu; dan
j.
pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
·
Kecurangan kecurangan yang terjadi kerap
terjadi pada tahapan-tahapan berikut ini ; Perekrutan Penyelenggara, Daftar Pemilih Tetap,Pencalegan, Kampanye, Pencoblosan, Rekapitulasi
Suara,Dan Penetapan
Hasil
DAFTAR PUSTAKA
S.T,
Zainudin. 2013, Sosialisasi Pemilu,
Perkuliahan tamu mata kuliah sistem kepartaian dan pemilu indonesia
Surbakti , Ramlan. 2010, Memahami
Ilmu Politik, Jakarta : PT Grasindo
Akbar,
Renaldy. 2013, Rekonstruksi sistem
pemilu 2014 untuk siapa, diunduh dari http://politik.kompasiana.com.
Pada tanggal 15 desember 2013
Gunarto,
Rahmad. 2012, Perbandingan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif
Indonesia dengan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Amerika Serikat, di
unduh dari http://rahmadgunarto.blogspot.com. Pada tanggal 15 desember 2013
Herlambang,
sistem pemilu1, diunduh dari http://ihtiroom.staff.uns.ac.id
Pada tanggal 15 desember 2013
Imanda,
Hayesta f., 2012, Potensi Kecurangan
Dalam Pemilu, diunduh dari www.kompasiana.com
Pada tanggal 15 desember 2013
[1] Rahmad Gunarto. 2012, Perbandingan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif
Indonesia dengan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Amerika Serikat,
di unduh dari
http://rahmadgunarto.blogspot.com.
[3]
Renaldy akbar. 2013, Rekonstruksi sistem
pemilu 2014 untuk siapa, diunduh dari http://politik.kompasiana.com.
[4]
Herlambang, sistem pemilu1, diunduh dari http://ihtiroom.staff.uns.ac.id
[5] Zainudin
S.T. 2013, Sosialisasi Pemilu, Perkuliahan
tamu mata kuliah sistem kepartaian dan pemilu indonesia
[6]
Hayesta f. Imanda, 2012, Potensi
Kecurangan Dalam Pemilu, diunduh dari www.kompasiana.com
[7]
Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar