Jumat, 07 Februari 2014

Kecurangan Kecurangan pada PILEG

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Legislative di Indonesia
2.1.1 Definisi
Pengertian pemilu menurut Sukarna, pemilu adalah suatu alat atau cara untuk memperoleh wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.[1] Menurut pasal 1 angka 1 UU no 10 tahun 2008, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Neagara tahun 1945. Sedangkan menurut Ramlan Surbakti,[2] yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota legislatif (pusat dan daerah), presiden/wakil presiden, dan kepala daerah/wakil kepala daerah untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Mekanisme pendelegasian ini dilakukan secara periodik dan tertib agar terjadi suatu sirkulasi elit yang elegan, yang bertujuan untuk memindahkan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab. Atau dapat diartikan bahwa pemilu itu merupakan tahapan pengkovsersian suara rakyat menjadi kursi dalam sebuah pemerintahan, dimana suara-suara rakyat yang terkumpul dari hasil vote tersebut di akumulasikan dan dijadikan sebagai standar penghitungan dalam perebutan kursi pemerintahan.
Sistem vote disini dianggap sejalan dengan demokrasi yang dianut oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahannya, yakni demokrasi representative, dimana memungkinkan setiap kelompok mengirimkan perwakilan-perwakilan mereka didalamnya guna memperebutkan kursi kekuasaan. Hal ini pulalah yang mungkin menjadi pertimbangan ketika mendesain suatu sistem pemilihan umum, yaitu representasi (keterwakilan) suara dan akuntabilitas kandidat terpilih. Hal ini pula yang kemudian menimbulkan pemilihan sistem pemilihan umum atas dua arus pemikiran. Dua arus pemikiran tersebut adalah : pertama, konsep mikrokosmos yang mengandaikan legislatif adalah sampel dari populasi masyarakat atau miniatur masyarakat, sehingga legislatif harus merefleksikan besaran masyarakat, bagaimana mereka berfikir, merasa, dan bertindak; dan kedua, konsep prinsipal-agen yang mengandaikan bahwa legislatif merupakan pemegang kuasa rakyat, yang bertindak mewakili kepentingan para pihak yang memilihnya tanpa mempersoalkan komposisi statistik-sosiologis. Atas dasar pemikiran tersebut, konsep pemikiran pertama diyakini dapat diakomodasi sebagai sistem pemilihan umum proporsional, dan konsep pemikiran kedua mewakili sistem pemilihan umum majority (di Indonesia, sistem pemilihan kedua ini menyebutnya sebagai sistem distrik, suatu penyebutan yang tidak lazim dalam membahas sistem pemilu, namun telah sering digunakan oleh para politisi dalam membahas sistem pemilu).
Di Indonesia terdapat tiga macam pemilu, yakni pemilu presiden yang di adakan guna memilih presiden dan wakilnya, lalu pemilu legislative yang digunakan memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dan yang ketida pilkada yang diadakan guna memilih kepala daerah yang mana ketiga pemilihan umum itu di lakukan secara periodic selama lima tahun sekali
2.1.2 Sejarah
Dalam sejarah sistem demokrasi, di Indonesia telah terjadi ragam rekonstruksi sistem. Sejak pemilu 1955-1999 pesta demokrasi digelar dengan sistem proporsional tertutup dimana para calon legislatif ditentukan oleh partai. Pemilih tidak secara terbuka mengetahui siapa-siapa yang bakal menjadi wakil mereka karena dalam surat suara tidak ada nama-nama caleg, yang ada hanya gambar partai saja. Sistem ini dianggap tidak responsif akan perubahan-perubahan yang terjadi pada caleg-celegnya.
Kemudian pada pemilu 2004, sistem tersebut mengalami rekonstruksi yakni dengan menerapkan sistem semi proporsional terbuka. Pada sistem ini, suara tidak sah membledak dari 3,7 juta sampai 10, 96 juta. Hal tersebut terjadi lantaran sistem semi terbuka tidak terstruktur dengan definisi suara sah dan tidak sah. Saat itu, nama caleg dan partai terpampang dalam surat suara. Namun,  suara sah jika pemilih mencoblos partai saja atau mencoblos partai dan caleg. Tidak sah jika pemilih hanya memilih caleg saja. Kejadian itu pun berujung pada perubahan sistem, yakni sistem proposional terbuka.
Pemilu tahun 2009 tersistem dengan proposional terbuka yaitu selain memilih tanda gambar, pemilih juga berhak memilih langsung caleg. Sistem ini berdampak pada pertentangan antar sesama caleg maupun partai. Sistem yang “katanya” menerapkan sistem proposional terbuka masih menunjukan sikap otoritarian partai dimana daftar calon tidak berdasarkan suara terbanyak tapi berdasarkan urutan atau rangking. Jelas bahwa ketimpangan ini lah yang melangkahkan pada rekonstruksi sistem pemilihan umum tahun 2014.
Sistem pemilu legislatif tahun 2014 sepertinya tidak jauh-jauh dengan masa sebelumnya. Bedanya, mau caleg diurutan berapa pun jika mempunyai suara terbanyak maka dialah yang akan menang. Pada sistem ini, aktor utamanya adalah caleg, bukan partai. Jadi semua memiliki peluang yang sama sehingga alat yang cepat untuk memenangkan kompetisi ini adalah uang. [3]
2.2 Sistem Pemilu Legislative di Indonesia
Dalam membahas tentang sistem pemilu legislative di Indonesia ini saya akan berlandaskan pada undang-undang yang telah ditetapkan guna mengatur sistem pemilu itu sendiri, diantaranya :[4]
·         Pasal 18 (3): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
·         Pasal 19 (1): Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
·         Pasal 22 C (1): Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.; (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari seperti jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
·         Pasal 22 E: PEMILU
Dalam kajian kali ini penulis hanya akan memfokuskan kajiannya untuk mengkaji Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan anggota legislatif yaitu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Di Pasal 1 UU No. 10 tahun 1998 disebut yang berhak untuk melaksanakan Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana KPU adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU berdiri di tingkat nasional, daerah tingkat I dan II. Sementara yang berada di luar negeri disebut PPPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri). Tempat pemungutan suara disebut TPS dan penyelenggaranya disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Kemudian tempat pemungutan suara di luar negeri disebut TPSN dan penyelenggarnya disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang dibentuk oleh PPLN setempat.  Untuk pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil maka dibentuk juga Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk tingkat nasional, untuk tingkat provinsi dan kabupaten disebut Panwaslu (Panitia pengawas pemilu) tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Panwaslu nantinya akan membentuk Panitia Pengawas di lapangan untuk mengawasi pelaksanaan pemilu di setiap TPS. Sementara untuk yang di luar negeri disebut Panitia Pengawas Luar Negeri yang dibentuk oleh Bawaslu.  Peserta dari pemilu legislatif adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan untuk ikut dalam pemilu dimana nanti kalau sampai terpilih menjadi anggota DPR, DPRD Tk. I dan II, sementara untuk untuk yang perorangan menjadi anggota DPD. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5% (tiga koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu. Sementara bilangan pembagi pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebelum pemilihan suara dilakukan para peserta pemilu diperbolehkan untuk berkampanye untuk menyampaikan visi & misinya kepada masyarkat apabila mereka terpilih.
Di Pasal 4 dijelaskan bahwa Pemilu legislatif dilaksanakan lima tahun sekali dengan urutan pelaksanaan sebagai berikut:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
f. masa kampanye;
g. masa tenang;
h. pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan;
i. penetapan hasil Pemilu; dan
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Untuk pemilihan anggota DPR & DPRD Tk. I & II dilaksanakan secara proporsional terbuka, sementara untuk pemilihan anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Persyaratan bagi partai politik untuk bisa ikut pemilu antara lain:
a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
f. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan
g. Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
Sementara bagi partai politik yang sudah pernah ikut serta dalam pemilu sebelumnya secara otomatis langsung bisa ikut pemilu berikutnya. Untuk pemilihan anggota DPD haruslah diajukan secara perseorangan dan persyaratannya adalah sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan;m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan.
Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dibuktikan dengan:
a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia.
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah.
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
k. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Persyaratan dukungan minimal bagi seseorang untuk bisa menjadi anggota DPD adalah sebagai berikut:
a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; atau
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.
Dukungan tersebut harus tersebar di paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dan harus dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung. Masyarakat tidak boleh memilih lebih dari 1 calon anggota DPD dan itu menyebabkan suaranya batal. Penetapan waktu pemilu legislatif ditentukan oleh KPU. Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD adalah sebagai berikut:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Untuk penetapan jumlah kursi DPR sebanyak 560 kursi, dimana daerah pemilihan berasal dari tingkat provinsi & minimal ada 3 kursi dari setiap propinsi di DPR. Untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. I, paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus). Ketentuan untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. I:
a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi;
c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh lima) kursi;
d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh lima) kursi;
e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85 (delapan puluh lima) kursi;
g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.
Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya. Alokasi kursi yang disediakan adalah minimal 3 kursi dan maksimal 12 untuk setiap daerah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.
Untuk penetepan jumlah kursi DPRD Tk. II, paling sedikit 20 (dua puluh) dan paling banyak 50 (lima puluh). Ketentuan untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. II:
a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;
b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25 (dua puluh lima) kursi;
c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 30 (tiga puluh) kursi;
d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 40 (empat puluh) kursi;
f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi;
g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.
Daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya. Apabila ada penambahan jumlah kursi maka itu diberikan kepada daerah dengan penduduk terbanyak. Alokasi kursi yang disediakan adalah minimal 3 kursi dan maksimal 12 untuk setiap daerah kecamatan atau gabungan kecamatan.
Untuk jumlah kursi anggota DPD adalah empat kursi untuk masing-masing propinsi. Jadi, daerah pemilihan anggota DPD berasal dari tingkat propinsi.
Pelaksanaan pemilu dimulai tiga hari setelah penetapan daftar caleg (calon anggota legislatif) tetap dan dilaksanakan selama 21 hari sampai masa tenang. Masa tenang berlaku selama tiga hari baru setelah itu pelaksanaan pemilu dilangsungkan. Untuk waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR dan DPD ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi dengan Peserta Pemilu. Demikian juga untuk pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU setempat setelah berkoordinasi dengan para peserta pemilu.
Dana pelaksanaan kampanye pemilu menjadi partai politik peserta pemilu masing-masing. Sumber-sumber dana tersebut antara lain:
a. partai politik;
b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik yang bersangkutan; dan
c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
Dana tersebut bisa berupa uang, barang atau jasa. Dana yang diterima harus dimasukkan dalam rekening khusus & tidak boleh dijadikan satu dengan keuangan parpol. Pembukuan dana kampanye Pemilu dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan tidak boleh melebihi 5 miliar rupiah. Sementara dari pihak lain dari perusahaan atau badan usaha non-pemerintah tidak boleh lebih dari 5 miliar rupiah. Baik dari perorangan maupun bukan harus menampilkan identitasnya dengan benar dan jelas.
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP;
b. apabila calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP;
c. Bila terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% dari BPP;
d. Bila calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. Bila tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan. Apabila perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih. KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di provinsi yang bersangkutan.
2.3 Kecurangan-Kecurangan Yang Kerap Terjadi.
Berikut potensi kecurangan dalam Pemilu yang disengaja atau pun tidak dan luput atau memang tidak terdeteksi oleh penyelenggara atau pun oleh peserta dan masyarakat:[5]
  1. Perekrutan penyelenggara, dalam hal ini terjadi perbincangan tentang siapa yang menjadi penyelenggara, selain dari pihak dana guna menunjang kelancara pemilu disini juga diperlukan ke indepensian calon penyelenggara dalam menjalankan tugasnya guna menghindari kecurangan yang disebabkan penyelenggara lebih condong ke salah satu calon.
  2. Daftar Pemilih Tetap (DPT), dalam daftar pemilih terbuka peluang masuknya pemilih yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan Pemilu. Selain pada pelaksanaan Pemilu yang bersifat nasional, masuknya pemilih dari propinsi dan kabupaten lain yang sengaja atau sukarela mendaftar dan/atau didaftarkan oleh petugas pendaftaran pemilih. Masih terdapatnya pemilih yang sudah tidak lagi berhak memilih dalam DPT karena berbagai sebab; anggota TNI/Polri terlebih yang bertugas di lapangan dengan pakaian sipil dan tidak terdeteksi oleh petugas pendaftar pemilih; pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali, bisa karena kelalaian petugas dalam menghapus nama pemilih dimaksud atau bisa juga nama pemilih yang terdaftar dengan nama berbeda untuk satu orang pemilih. [6]
  3. Pencalegan, pada sisi ini hal yang sering kali disoroti adalah akuntabitas calon, apakah calon itu benar-benar telah lolos verifikasi calon.
  4. Kampanye, dalam kampanye tentu banyak sekali terjadi kecurangan dalam hal ini saya akan memberikan contoh tentang ‘Money Politik penggunaan uang untuk membeli suara pemilih masih efektif digunakan guna mendulang suara sebanyak-banyaknya. Peraturan perundang-undangan Pemilu belum secara efektif bisa menjerat pelaku dan calon yang diuntungkan olehnya, biasanya yang membagi-bagi uang bukan tim kampanye atau sebutan lainnya, tetapi oknum yang ddbayar untuk melakukan itu. Sehingga saat tertangkap basah-pun, sanksi sulit secara langsung bisa dikenakan kepada calon terlebih bila sang calon kemudian dinyatakan terpilih dan terlantik sementara proses penanganan secara hukum belum juga rampung. Beberapa elemen masyarakat masih memiliki prinsip pragmatis “siapa yang memberi uang dia yang dipilih” atau “memilih siapapun sama saja, jadi pilih saja yang memberi uang”, menyuburkan praktek politik uang ini. Terlibatnya secara masif aparat pemerintahan dalam pemenangan calon tertentu, menggiring suara pemilih dan terkadang juga mendikte pemilih untuk memilih calon tertentu. Meskipun peraturan perundang-undangan untuk itu sudah ada, keterlibatan aparat pemerintahan masih kerap muncul. Keterlibatan ini bisa dimulai sejak rekruitmen penyelenggara Pemilu sampai pada saat rapat pleno penghitungan suara dilakukan. Beberapa aduan untuk praktek ini kerap sampai ke meja MK, tapi karena tidak cukup bukti, tidak cukup memengaruhi perolehan suara dan alasan lainnya, kerap kandas dan ditolak. [7],
  5. Pencoblosan, merupakan tahap krusial dan tahap yang menjajikan masa depan caleg, karena pasti akan menjadi sorotan mata berbagai pihak, dalam hal ini saya memberikan contoh ‘Penggunaan surat suara Pemilu yang tidak terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu, praktek ini bisa dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di TPS bersama atau sendiri, diketahui atau tidak oleh para saksi, pengawas, pemantau, masyarakat setempat. Dalam peraturan perundang-undangan Pemilu, surat suara tidak terpakai karena ketidakhadiran pemilih harus dinyatakan tidak berlaku dan diberi tanda centang [X], dicantumkan dalan berita acara yang diketahui dan ditandatangani saksi-saksi. Meskipun begitu masih saja terbuka peluang digunakannya surat suara tidak terpakai secara diam-diam atau atas kerjasama antara oknum-oknum yang terlibat di dalamnya.
  6. Rekapitulasi suara, dalam hal ini kecurangan yang biasa terjadi adalah berubahnya perolehan suara pada saat rapat pleno penghitungan suara dilakukan. Meskipun pada saat dilakukan penghitungan suara dihadiri oleh para saksi, pengawas, pemantau, dan masyarakat, kecurangan ini masih bisa dilakukan secara diam-dian atau atas kerjasama antara mereka yang terlibat. Sangat mudah menambah entri pada saat dilakukannya penghitungan suara terlebih bila itu dilakukan dengan media komputer, pun penambahan entri secara diam-diam dalam penghitungan manual.
  7. Penetapan hasil, dalam hal terakhir dan penentu ini kerap kali menemukan rintangan dalam penetapannya yang biasanya terjadi karena ketidakpuasan pihak yang kalah akan hasil yang telah didapat. Tidak jarang dalam proses ini diperlukan penjagaan akan keamanan yang ekstra guna mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan.
Semua hal itu tentunya tidak lepas dari campur tangan partai politik di dalamnya mengingat merekalah yang paling berkepentingan dalam hal ini. Dan hal ini tidaklah lepas dari target partai politik yang telah berubah, dimana mereka lebih mengedepankan pencapaian dan peraihan kekuasaan sehingga mengesampingkan sportifitas, dan hal ini pulalah yang menyebabkan proses pengkaderisasian didalam partai berjalan lambat dikarena kan kurang terurusnya kader-kader muda karena partai lebih mementingkan sosok yang memiliki popularitas dan segi ekonomi yang kuat seperti pengusaha. 

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
·         Pemilu itu merupakan tahapan pengkonversian suara rakyat menjadi kursi dalam sebuah pemerintahan, dimana suara-suara rakyat yang terkumpul dari hasil vote tersebut di akumulasikan dan dijadikan sebagai standar penghitungan dalam perebutan kursi pemerintahan.
·         Menurut pasal 1 angka 1 UU no 10 tahun 2008, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Neagara tahun 1945.
·         Sejak pemilu 1955-1999 pesta demokrasi digelar dengan sistem proporsional tertutup, pada pemilu 2004 menerapkan sistem semi proporsional terbuka, dan Pemilu tahun 2009 tersistem dengan proposional terbuka.
·         Pelaksanaan pemilu legislative sendiri telah termuat dalam undang pasal 4 dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
f. masa kampanye;
g. masa tenang;
h. pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan;
i. penetapan hasil Pemilu; dan
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
·         Kecurangan kecurangan yang terjadi kerap terjadi pada tahapan-tahapan berikut ini ; Perekrutan Penyelenggara, Daftar Pemilih Tetap,Pencalegan, Kampanye, Pencoblosan, Rekapitulasi Suara,Dan Penetapan Hasil


DAFTAR PUSTAKA

S.T, Zainudin. 2013, Sosialisasi Pemilu, Perkuliahan tamu mata kuliah sistem kepartaian dan pemilu indonesia
Surbakti , Ramlan. 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Grasindo
Akbar, Renaldy. 2013,  Rekonstruksi sistem pemilu 2014 untuk siapa, diunduh dari http://politik.kompasiana.com. Pada tanggal 15 desember 2013
Gunarto, Rahmad. 2012, Perbandingan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Indonesia dengan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Amerika Serikat, di unduh dari http://rahmadgunarto.blogspot.com. Pada tanggal 15 desember 2013
Herlambang, sistem pemilu1, diunduh dari http://ihtiroom.staff.uns.ac.id Pada tanggal 15 desember 2013
Imanda, Hayesta f., 2012, Potensi Kecurangan Dalam Pemilu, diunduh dari www.kompasiana.com Pada tanggal 15 desember 2013




[1] Rahmad Gunarto. 2012, Perbandingan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Indonesia dengan Sistem Pemilu Presiden dan Legislatif Amerika Serikat, di unduh dari http://rahmadgunarto.blogspot.com.
[2]Ramlan Surbakti. 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Grasindo
[3] Renaldy akbar. 2013,  Rekonstruksi sistem pemilu 2014 untuk siapa, diunduh dari http://politik.kompasiana.com.
[4] Herlambang, sistem pemilu1, diunduh dari http://ihtiroom.staff.uns.ac.id
[5] Zainudin S.T. 2013, Sosialisasi Pemilu, Perkuliahan tamu mata kuliah sistem kepartaian dan pemilu indonesia
[6] Hayesta f. Imanda, 2012, Potensi Kecurangan Dalam Pemilu, diunduh dari www.kompasiana.com
[7] Ibid, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang..dan terimakasih.. :)