PENDAHULUAN
Pemilu mahasiswa?? Menurut saya, pemilu mahasiswa
adalah sebuah cerminan masa depan bagaimana pemilu nasional negara itu akan
berlangsung. Kenapa? Karena memang mahasiswa-mahasiswa itu lah yang nantinya
akan menggantikan pendahulunya di atas kursi-kursi kekuasaan itu. Dalam pemilu
mahasiswapun masalah yang dihadapi tidak jauh beda dengan pemilu nasional
seperti selalu adanya pihak yang akan mempertanyakan keaktualitasan dari hasil
perhitungan suara,jumlah suara yang jauh lebih banyak dari jumlah pemilih,
ataupun sikap saling menjatuhkan antar calon dengan kritik-kritik seperti
tentang pengkritikan pemasangan spanduk-spanduk, yang tidak pada tempatnya
ataupun yang berdampak buruk pada lingkungan.
Pemilu mahasiswapun pada dasarnya, merupakan sebuah
pembelajaran nyata bagi mahasiswa dalam bidang sosial politik. Dalam suatu
pembelajaran itu sendiri, tidak diharamkan adanya suatu perubahan atau
pembaharuan, bahkan sesungguhnya pembelajaran itu sendiri menuntut adanya
perubahan atau pembaharuan dari apa yang ada sebelumnya.
Mahasiswa
sendiri paham bahwa pemilu mahasiswa adalah tempat pembelajaran nyata bagi diri
mereka di bidang sosial politik, karena memang banyak dari dosen mereka yang
menganjurkan mereka agar ikut terjun dalam pemilu mahasiswa sebagai media
pembelajaran mereka. Tapi, ironi sekali melihat gerak-gerik mahasiswa dewasa
ini. Mereka seakan lupa dengan peran mereka sebagai agent of change, mereka
terlalu condong untuk hanya mengikuti arus perpolotikan yang ada. Mereka
seakan-akan hanya menerima semua hal yang ada di depan mereka ataupun yang di
berikan pada mereka, mereka hanya hidup mengikuti arus tanpa memikirkan apapun.
Mereka hanya terjun, masuk dalam sebuah pergerakan politik mahasiswa, atau
mengamati yang bahkan lebih condong hanya mengkritisi. Dan hanya karena
melakukan hal itu mereka telah bangga sekali, seolah-olah mereka telah berhasil
menemukan jalan yang benar dalam hidupnya, ironi sekali, bahwasanya mereka
bahkan belum memenuhi kewajiban mereka sebagai mahasiswa, sebagai agen
perubahan. Mereka hanya mengikuti lika-liku sebuah perpolitikan, seakan menjadi
budak dan hanya mengikuti aturan main yang belum tentu seperti itu kebenarannya,dan
mahasiswa sekarang memang hanya cenderung mengikuti, bukannya memberi suatu
proses baru demokrasi. Bahkan mahasiswa sekarang cenderung terindikasi oleh
suatu sistem politik praktis alias partai politik, tidak sadarkah bahwa mereka
sebenarnya hanya cenderung dijadikan sebagai alat politik oleh mereka, dan jika
sudah seperti itu, apa yang bisa di banggakan dari mahasiswa, dari sekumpulan
orang yang di anggap masyarakat berpendidikan, dan yang diharapkan membawa
suatu perubahan
Apakah sebuah perubahan itu dapat dicapai hanya
mengikuti arus yang ada? sepertinya tidak, kita harus berani menyuarakan suara
kita walaupun berbeda, kita harus berani melawan arus itu agar dapat mewujudkan
sebuah perubahan. Dan bila memang tidak ada perubahan dari mahasiswa, maka
tidak berubah pula tatanan demokrasi di negara ini. Karena masalah yang akan
muncul sama saja, karena memang demokrasi kampus dalam pemilu mahasiswa sama
saja seperti pemilu nasional saat ini. Ironi bukan, saat mahasiswa yang di
gadang-gadang membawa suatu perubahan, mahasiswa yang selalu meneriaki
pemerintah, tetapi ternyata tidak lebih baik dari pemerintah itu sendiri. Lalu
bila sudah seperti itu, yang patut kita pertanyakan adalah, ‘dimana eksistensi
mahasiswa ?’
Dalam pemilu mahasiswapun kita tidak bisa melepaskan
keterkaitannya dengan suatu gerakan-gerakan mahasiswa itu sendiri, baik intra
maupun ekstra kampus. Dan dalam sejarah, pergerakan mahasiswapun memiliki
karakteristik masing-masing dan tantangan yang berbeda-beda. Sebuah gerakan itu
pula yang memotivasi dan membentukan karakter mahasiswa itu, secara garis besar
dari gerakan mahasiswa yang terbagi dalam organisasi-organisasi intra maupun
ekstra kampus itulah mahasiswa mendapat pengaruh besar, mulai dari pola pikir, tujuan
mereka, visi, misi, dan jalan hidup mana yang akan mereka ambil.
Organisasi-organisasi tempat mereka bernaung lah yang sangat mempengaruhi hal
itu.
Kembali menelaah kepada sejarah pergerakan mahasiswa
yang memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda, dan yang mampu
melawan arus demi sebuah perubahan hingga sampai pada masa generasi kita ini.
Lalu, bagaimana dengan kondisi pergerakan mahasiswa pada masa kini?, bila
menelaah dari uraian yang telah saya sampaikan di awal tadi, apakah mungkin
mahasiswa pada generasi ini dapat melakukan perubahan, bila yang mereka lakukan
hanyalah mengikuti arus yang ada, dan bahkan mungkin mereka telah beralih peran
dari yang awalnya sebagai agen perubahan menjadi alat politik?, mengingat
eksistensi merekapun telah di pertanyakan.
Disini saya tidak menjabarkan tentang persamaan pemilu
mahasiswa dan pemilu nasional kita, karena memang seperti itulah persamaan yang
akan berjalan dan mungkin hal itupun sudah dipahami oleh kebanyakan orang, dan
mungkin juga akan keluar tema bila semisal saya membahas hal itu. Dalam hal ini
saya akan lebih focus pada gerakan dan eksistensi mahasiswa itu.
Benedict Anderson, seorang Indonesianist mengungkapkan
bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya.[1]
Hal itu tidak lah salah mengingat begitu berperannya kaum pemuda Indonesia
dalam membawa suatu perubahan terhadap bangsa kita ini, bahkan banyak
peristiwa-peristiwa bersejarah tentang perubahan bangsa Indonesia ini ke arah
kemajuan yang di motori oleh peran ikut serta pemuda seperti, peristiwa
rengasdeklok yang akhirnya membawa kita ke pada pintu kemerdekaan, peristiwa
yang menjatuhkan soekarno dari jabatannya, dan runtuhnya rezim soeharto yang
telah menjabat selama 32 tahun, dan juga sebagai era reformasi bangsa
Indonesia. Dan oleh karena itu, disini saya akan lebih menjabarkan tentang problema
dan solusi tentang gerakan dan eksistensi mahasiswa masa kini.
Pembahasan
Mahasiswa
Lewis Coser : mahasiswa merupakan cendekiawan, yaitu
orang-orang yang kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana
adanya..., mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku suatu saat, dalam
hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas.14 Dalam
hal ini mahasiswa menjadi sosok yang unik dalam masyarakat, bukan hanya karena
ilmu mereka, ataupun ke kreatifan mereka, tapi ke kritisan mereka dalam
menanggapi suatu hal, itulah yang menjadi ciri khas tersendiri dari mahasiswa.
Di samping itu, mahasiswa juga di kenal sebagai
golongan yang pro rakyat dan berani menyuarakan aspirasi rakyat. Menurut
Jumadi(2009:120) bahwa : mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat terhadap
alur dan logika penguasa dan sebaliknya sebagai penyampai kebijakan penguasa
terhadap komunitas umum, demi terciptanya alur kehidupan yang dinamis dan
seimbang antara pengambil kebijakan dan objek kebijakan. Selain itu, menurut Raillon
(1989:140-194) bahwa “mahasiswa sebagai pembela kemurnian, keadilan dan
perintis renovasi dan agen perubahan, serta pelopor pembangunan”. Tokoh lain
Culla (1999:8-9) mengatakan bahwa “mahasiswa sebagai actor atau ujung tombak
perubahan sosial dan politik, karena merekalah kekuatan sosial yang sangat
responsive terhadap kondisi struktur politik”.[2]
Dari pendapat para tokoh di atas dapat diambil sebuah garis
besar, dimana peran mahasiswa sangat lah besar dalam suatu masyarakat ataupun negara,
seperti sebagai penyalur aspirasi rakyat dan penyampai kebijakan pemerintah
kepada khalayak umum, sebagai pembela kemurnian dan pelopor pembangunan serta
pembawa perubahan sosial politik. Hal itupun telah terbukti bila kita menelaah
sejarah bangsa ini, dimana mahasiswa berjuang membela kepentingan rakyat dan
membela keadilan.
Menurut Arbi Sanit (1985) terdapat lima hal yang melatar belakangi penyebab tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap
persoalan yang bertitik fokus pada perjuangan membela kepentingan rakyat:
1. Mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh
pendidikan terbaik memiliki persepektif atau pandangan yang cukup luas untuk
dapat bergerak di semua lapisan masyarakat.
2. Mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut
dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang
di antara generasi muda.
3. Kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan
mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka.
4. Mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan
atas dari susunan kekuasan, struktur ekonomi, dan memiliki keistimewaan
tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok elit di kalangan kaum muda.
5. Mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran,
perbincangan, dan penelitian berbagai masalah yang timbul di tengah kerumunan
masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya
ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.[3]
Dalam
hal ini, kita juga menyadari bahwa ada berbagai tipe dari mahasiswa dan menurut
Al-Zastrouw[4],
aktivitas mahasiswa yang muncul terbagi dalam berbagai bentuk:
1. Kelompok asketisme-religi yaitu kelompok yang ditandai
dengan adanya semangat keagamaan yang tinggi, tercermin melalui simbol-simbol formal dan syiar-syiar
ritual keagamaan.
2. Kelompok profesional-individual yang ditandai dengan
adanya kompetisi yang cukup tinggi dalam bidang skill profesional.
3. Kelompok konsumtif-hedonistik, yaitu kelompok yang
lebih menekankan aspek hura-hura dan kenikmatan duniawi semata.
4. Kelompok proletariat yaitu kelompok dengan gerakan
yang langsung menyentuh pada persoalan masyarakat secara riil, sebagaimana
manifestasi kesadaran dan kepedulian terhadap realitas yang ada.
5. Kelompok aktivis organisatoris yaitu kelompok mahasiswa
yang melakukan kegiatan melalui organisasi formal.
Secara garis besar, kita sendiri menyadari bahwa
tersapat dua tipe dari mahasiswa tersebut yaitu mahasiswa yang aktif atau biasa
disebut aktifis, dan mahasiswa yang pasif, atau disebut apatis. Seorang
mahasiswa disebut sebagai aktifis jika ia tidak hanya menekuni disiplin ilmunya
saja, tetapi ia juga ikut dalam berbagai kegiatan. Misalnya kelompok
diskusi/kelompok studi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi
ekstra dan intra universitas serta organisasi kepemudaan. Sedangkan mahasiswa
apatis lebih menarik dirinya menjauh dari proses politik. Kebanyakan dari
mereka lebih fokus ke kuliah mereka ataupun hidup mereka. Ya, memang kuliah
penting, tapi bukankah nanti dalam dunia kerja bukan ilmu saja yang di
butuhkan, bahkan keterampilanlah yang menjadi kunci dalam keberhasilan di dunia
luar. Dan karena itu lah sangat penting kita ikut berpartisipasi dalam lingkungan
kita, selain itu dengan bersifat apatis kitapun secara tidak langsung telah
menghilangkan keunikan kita sebagai mahasiswa yang selalu kritis terhadap
sesuatu.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa berpeluang untuk
berada pada posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat. Sejalan dengan
posisi mahasiswa di dalam peran masyarakat atau bangsa, dikenal dua peran pokok
yang selalu tampil mewarnai aktivitas mereka selama ini. Pertama, ialah sebagai
kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Kedua, yaitu sebagai penerus kesadaran masyarakat luas
akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif
perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga
masyarakat berubah ke arah kemajuan.[5]
Oleh karena itu, mengingat pentingnya peran mahasiswa,
maka kita harus berusaha mengembalikan eksistensi mahasiswa dalam kehidupan
berbanggsa dan bernegara ini. Menurut Arbi Sanit,[6]
ada tiga bidang usaha yang perlu dilakukan agar dapat melahirkan mahasiswa yang
kritis, yaitu melengkapi kemampuan mahasiswa, mengembangkan kehidupan kampus,
dan menumbuhkan kehidupan politik serta kemasyarakatan sebagai pendorongnya.
Pertama, kemampuan pelengkap mahasiswa dimaksudkan
sebagai pendamping keahlian dan ketrampilan yang mereka dapatkan melalui proses
di luar kurikulum tersebut ialah kebolehannya dalam menganalisa dan memahami
masalah kemasyarakatan dan politik, yang berguna bagi pembentukan sikap mereka
terhadap masalah-masalah tersebut. Karena itu disamping ilmu-ilmu yang mendasari
keahlian, mahasiswa diberi kesempatan pula untuk mengenali atau menguasai
ideologi, budaya politik, struktur sosial dan permasalahan kepemimpinan bangsa.
Sarana yang mereka perlukan untuk mendapatkan kemampuan non kurikuler tersebut
ialah melalui diskusi, dan berorganisasi.
Kedua, kehidupan kampus yang memungkinkan mahasiswa
mendapatkan kemampuan dan wawasan yang lebih luas tersebut adalah adanya
kebebasan ilmiah yang lebih utuh dikalangan sivitas akademika sehingga kampus
menjadi pusat pemikiran yang melahirkan gagasan alternatif bagi perbaikan dan pengembangan masyarakat.
Ketiga, kondisi di luar kehidupan kampus yang
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan non-profesional mahasiswa serta lulusan
perguruan tinggi ialah ditumbuhkannya sikap politis yang mem-percayai mahasiswa
seperti adanya sebagai potensi pembangunan, tumbuhnya aktivitas organisasi
mahasiswa ekstra universitas, dan lain-lain. Melalui mekanisme seperti itulah,
mahasiswa bisa bangkit dan memiliki kemampuan untuk menjadi motor perubahan.
Selain itu, Ridwan Saidi juga menyebutkan bahwa mahasiswa
pada dasarnya memiliki persepsi politik yang terbentuk dari arus informasi yang
dicernanya sehari-hari, melalui proses pertukaran pikiran dengan sesama rekan
yang berlangsung secara tidak sengaja dalam kehidupan sehari-hari, realita kehidupan
kemasyarakatan yang dapat direkamnya. Ekspresi atau ungkapan, dan persepsi politik
yang dimiliki seseorang tergantung dari individu yang bersangkutan. Mereka
dapat saja menjadi reluctant, bahkan apatis sekalipun dengan kehidupan politik.
Salah satu ekspresi politik mahasiswa dalam bentuk
aktif yang di gambarkan oleh Ridwan Saidi adalah keikutsertaan mahasiswa pada
organisasi kemahasiswaan. Menurutnya, organisasi mahasiswa sangat penting artinya
sebagai arena pengembangan nilai-nilai kepemimpinan. Masalah kepemimpinan bukan
sekedar bakat yang secara alami melekat pada seseorang. Kepemimpinan juga tidak
dapat dikursuskan. Pengembangan kepemimpinan memerlukan latihan-latihan. Karena
itu, organisasi mahasiswa mengemban fungsi sebagai training ground. Sehingga
mahasiswa tidak dipandang sekedar sebagai insan akademis yang cuma tahu lagu,
buku dan cinta tanpa kepedulian terhadap masalah sosial kemasyarakatan.[7]
Organisasi
Mahasiswa
Dalam hal ini saya akan membahas gerakan mahasiswa
dalam ruang lingkup organisasi-organisasi mahasiswa. Seperti yang telah
disinggung di atas tadi, bahwa berorganisasi adalah salah satu cara ataupun
usaha yang dapat dilakukan agar dapat melahirkan kembali jiwa mahasiswa yang
kritis, menumbuhkan jiwa pemimpin, menjadikan kembali mahasiswa sebagai ujumg
tombak perubahan dan mengembalikan eksistensi mahasiswa. Beroganisasi bagi
mahasiswa memanglah sangat penting. Beroganisasi bisa merupakan ajang latihan
bagi mahasiswa. Beroganisasi itu ibarat media untuk melatih kepekaan sosial,
dan lain sebagainya. Berikut ini beberapa manfaat berorganisasi bagi mahasiswa,
yaitu:
1.
Memperluas
pergaulan
2.
Meningkatkan
wawasan/pengetahuan
3.
Membentuk pola
pikir yang lebih baik
4.
Menjadi kuat
dalam menghadapi tekanan
5.
Meningkatkan
kemampuan berkomunikasi
6.
Melatih
leadership (kepemimpinan)
7.
Belajar mengatur
waktu
8.
Memperluas
jaringan (networking)
9.
Mengasah
kemampuan sosial
10. Ajang latihan dunia kerja yang sesungguhnya
Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial
yang didefinisikan Nan Lin (1992)[8]sebagai
upaya kolektif untuk memajukan atau melawan perubahan dalam sebuah masyarakat
atau kelompok. Rudolf Heberle (1968)[9]menyebutkan
bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk
mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde
baru. Bahkan Eric Hoffer (1988) [10]menilai
bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan.
Gerakan mahasiswa adalah gerakan sosial sesuai dengan
yang didefinisikan beberapa tokoh di atas, dan penyebab dari munculnya suatu
gerakan sosial amatlah beragam,berikut penyebab-penyebab munculnya gerakan
sosial :
Teori awal menyebutkan, sebuah gerakan muncul ketika
masyarakat menghadapi hambatan struktural karena perubahan sosial yang cepat
seperti disebutkan Smelser (1962). Denny JA juga menyatakan adanya tiga kondisi
lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa.[11]
Pertama,
gerakan sosial dilahirkan oleh kondidi yang memberikan kesempatan bagi
gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang
lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat
otoriter.
Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan
atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk
sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan
krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan.
Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya
gerakan sosial.
Ketiga, gerakan sosial semata-mata masalah kemampuan
kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu
memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan
sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan.Gerakan mahasiswa
mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat
imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral
sesuai sifatnya yang bersifat ideal.
Selain itu, gerakan mahasiswa juga sebagai gerakan
moral, ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai
ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya. Arief Budiman
yang menilai sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya
mereka sendiri. Mereka sering menenkankan peranannya sebagai “kekuatan moral”
dan bukannya “kekuatan politik”.[12]
Aksi protes yang dialncarkan mahassiwa berupa demonstrasi di jalan dinilai juga
sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti
organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis.
Sependapat dengan Arief Budiman, Arbi Sanit menyatakan komitmen mahasiswa yang
masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam
mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah
sadar politik mahasiswa. Karena itu politik mahasiswa digolongkan sebagai
kekuatan moral.[13]
Kemurnian sikap dan tingkah laku ,mahassiwa menyebabkan mereka dikategorikan
sebagai kekuatan moral, yang dengan sendirinya memerankan politik moral.
Tetapi, pada perkembangannya dewasa ini, suatu gerakan
mahasiswa ataupun organisasi-organisasi mahasiswa mulai di sepelekan karena
peran dan eksistensinya yang dirasa kurang dan seakan-akan mengalami
kemunduran. Selain itu, masyarakat pun menilai bahwa pergerakan-pergerakan
mahasiswa pada masa kini sudah lah tidak murni untuk membela kepentingan
rakyat, melainkan telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Dalam pandangan Riswandha Imawan, gerakan
mahasiswa di Indonesia dikelompokkan dalam kelompok kepentingan dan kelompok
penekan[14],
namun secara garis besar Imawan mengelompokkan gerakan mahasiswa dalam kelompok
kepentingan yang tidak terikat dalam satu perjanjian politik praktis. Akan tetapi
Imawan juga menegaskan bahwa pola dan cara gerakan mahasiswa cenderung memiliki
irisan dengan partai politik, LSM, dan kelompok kepentingan lain, khususnya
dalam dua cara dan pola mahasiswa dalam mengekspresikan dan memperjuangkan
aspirasi rakyat, yakni:
1. Menawarkan kepentingan masyarakat yang sudah
diartikulasikan untuk ’dibeli’ dan direspon oleh partai politik.
2. Secara langsung menyampaikan aspirasi masyarakat ke
pemerintah, yang sering didahului adanyapolemik di masyarakat.
Sedangakan menurut Muradi Ada lima alasan mengapa
gerakan mahasiswa menjadi terlihat tidak ’seksi’, ’mati angin’ dan cenderung
terjebak dalam proses dan aktivitas politik lanjutan, yang dipandang sebagai
suatu upaya memadamkan semangat perjuangan :
1. Kehilangan momentum politik. Satu tesis yang hingga saat
ini sulit dibantah adalah bahwa kerap kali momentum besar tercipta tidak mampu
dijaga dan dipertahankan oleh mahasiswa untuk menuntaskan agenda dan aspirasi
masyarakat. Bahkan ada kecenderungan logika diaspora politik dilakukan
bercampur dengan ambisi politik dari pelaku dalam pergerakan mahasiswa
tersebut.
2. Peluang politik
pasca momentum politik. Peluang politik tersebut menjadi satu permasalahan
tersendiri ketika dikaitkan dengan netralitas dan kepentingan mahasiswa yang
hanya untuk masyarakat. Peluang politik tersebut terkait dengan upaya untuk
menggayung sambuti langkah dan perjuangan lanjutan pasca momentum politik.
Bentuk dari peluang politik tersebut bisa dari kekuasaan yang baru, kesempatan
untuk aktif dalam LSM, dan partai politik.
3. Polarisasi ideologi gerakan mahasiswa. Salah satu
konsekuensi dari kemenangan politik mahasiswa adalah terbukanya peluang
masyarakat untuk mengembangkan diri dalam berbagai organisasi, termasuk
organisasi mahasiswa. Bila sebelum kejatuhan Soeharto dan Orde Baru,organisasi
mahasiswa radikal banyak didominasi oleh kalangan pro demokrasi dan organisasi
informal.Maka pasca kejatuhan Orde Baru, berdiri berbagai organisasi yang tidak
kalah radikalnya, baik dari informal kampus maupun organisasi formal kampus.
4. Ketidakmampuan menjaga stamina gerakan. Hal yang sama
persis juga terjadi pada berbagai angkatan. Sekedar contoh misalnya pada kasus
Malari, yang ’diinisiasi’ oleh Angkatan 74 atau pada kasus diberlakukannya
NKK/BKK pasca gerakan yang dilakukan oleh Angkatan 77/78.
5. Kelima, tingkat represif yang ketat ataupun sebaliknya.
Tingkat represif yang longgar ternyata membawa implikasi pada efektifitas
gerakan mahasiswa. Sekedar contoh pada Angkatan 80-an, karena tingkat represif
yang tinggi, banyak aktivis gerakan mahasiswa beralih ke ruang-ruang diskusi
ataupun banting stir menjadi pegiat LSM.[15]
Ada tiga formula bagi upaya untuk mengefektifkan
gerakan mahasiswa sebagai bagian dari kontrol dan pengawasan terhadap kinerja
pemerintahan.
Formula pertama, membangun satu kesadaran yang utuh
kepada semua elemen gerakan mahasiswa untuk bersama-sama membangun satu gerakan
yang sinergis dan komprehensif tentang pengusungan isu bersama, seperti
penolakankenaikan harga BBM, dukungan mahasiswa terhadap penolakan revisi UU
No. 13/2001 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini jelas mengandung konsekuensi untuk
melepas baju eksistensi kelompok,ideologi, kepentingan, patronase, hingga
tujuan dari perjuangan yang lebih sempit. Sejatinya formula inirelatif ideal
dan pernah berhasil saat berbagai elemen gerakan mahasiswa bersatu padu dalam menjatuhkan
Soeharto dan Orde Baru 1998 lalu, meski beberapa saat kemudian terpecah kembali
pada basis gerakannya.
Formula kedua, membangun aliansi taktis-strategis
untuk isu-isu tertentu. Aliansi-taktis-strategis ini sejatinya rumit dan
mengundang permasalahan baru dalam praktiknya. Akan tetapi dalam kasus dukungan
mahasiswa dalam aksi buruh menolak perubahan terhadap undang-undang perburuhan
di Perancis beberapa waktu lalu justru efektif. Memang ada tiga prasyarat agar
aliansi-taktis-strategis tersebut dapat berhasil:
1. Isu yang diusung merupakan isu yang tidak terkait
langsung dengan permasalahan mahasiswa, dan masyarakat secara luas.
2. Tingkat partisipasi politik mahasiswa cenderung
stabil, dengan berbagai latar belakang ideologi politik.
3. Kepemimpinan massa ada pada masyarakat secara
langsung.
Kepemimpinan politik menjadi satu permasalahan dalam integrasi
gerakan mahasiswa di banyak negara, bahkan Perancispun mengalami kegagalan
ketika gerakan mahasiswa pecah pada tahun 1968, karena kepemimpinan massa yang
tidak tuntas.
Formula ketiga, menciptakan momentum politik bersama.
Penciptaan momentum politik bersama harus disadari penuh akan ada yang
leading untuk berbagai kasus. Namun hal
ini sesungguhnya menegaskan kepada kita semua bahwa tingkat kompetisi antar
organisasi mahasiswa dapat teruji benar. Sekedar contoh misalnya sekarang ini,
di mana organisasi mahasiswa yang memiliki jumlah dan basis massa yang jelas
akan memimpin dalam berbagai momentum politik. Bahkan dalam pemerintahan juga
seperti itu, saipa memiliki basisi massa terbenyak ia yang menang. Ya karena
memang Negara kita adalah negara demokrasi dan resiko dari system demokrasi
adalah itu, suara mayoritas belum tentu benar ataupun yang terbaik.
Baiklah setelah menelaah semua teori dan konsep dari
bermacam-macam pihak, kita dapat melihat semua hal itu, gerakan mahasiswa dan
eksistensi mahasiswa dalam sebuah rutinitas universitas, dan juga rutinitas
para aktifis kampus yaitu, pada ajang pemilu mahasiswa.
Dalam pemilu mahasiswa, kita di hadapkan pada suatu
proses demokrasi dimana berbagai unsur yang ada di dunia kampus turut serta
dalam hal itu. Dalam pemilu mahasiswa sebuah gerakan dan eksistensi mahasiswa
dapat terlihat jelas, kita dapat mengetahui atau melihat tipe-tipe mahasiswa, peran
dan gerak-gerik suatu organisasi kampus( intra maupun ekstra kampus ), dan fenomena-fenomena
apa yang terjadi di dalam proses demokrasi kampus itu, seperti yang telah saya
jabarkan di atas, semua penjabaran itu dapat langsung terlihat dan di pahami
dalam ajang itu.
Seperti, apa, bagaimana, dan seperti apa mahasiswa
apatis itu, atau seperti apa seorang aktifis kampus itu,lalu organisasi
mahasiswa sebagai gerakan mahasiswa berperan seperti apa ataupun bertindak atas
dasar apa ? semua hal itu dapat terlihat dalam pemilu mahasiswa.
Penutup
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas, kita dapat garis besar, bahwa
mahasiswa adalah unsur penting dan merupakan sosok yang di harapkan dapat
membawa bangsa ini kea rah perubahan yang lebih baik. Tetapi kondisi dewasa ini menunjukan kondisi yang
kurang sesuai dengan harapan masyarat. Mahasiswa mulai menunjukkan sosoknya
yang egois, dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, yang biasa kita kenal
sebagai mahasiswa apatis. Dan untuk menanggulangi hal itu, maka peran
organisasi mahasiswa sangat berperan di dalam pembentukan karakter mahasiswa
tersebut.
Tetapi dewasa ini, kinerja organisasi sebagai salah
satu pergerakan mahasiswa mulai di pertanyakan kemurnian dan eksistensinya. Karena
memang mulai ada indikasi bahwa gerakan mahasiswa tidak lagi murni membela
rakyat dan keadilan tetapi telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan
politik, kepentingan kelompok dan juga kepentingan individu pula.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan gerakan dan
eksistensi mahasiswa pada taraf yang sebenarnya, dari data di atas di peroleh
beberapa cara seperti:
Pertama, membangun satu kesadaran yang utuh kepada
semua elemen gerakan mahasiswa untuk bersama-sama membangun satu gerakan yang
sinergis dan komprehensif tentang pengusungan isu bersama
Kedua, membangun aliansi taktis-strategis untuk
isu-isu tertentu. Aliansi-taktis-strategis ini sejatinya rumit dan mengundang
permasalahan baru dalam praktiknya. prasyarat agar aliansi-taktis-strategis
tersebut dapat berhasil:
o
Isu yang diusung
merupakan isu yang tidak terkait langsung dengan permasalahan mahasiswa, dan
masyarakat secara luas.
o
Tingkat
partisipasi politik mahasiswa cenderung stabil, dengan berbagai latar belakang
ideologi politik.
o
Kepemimpinan
massa ada pada masyarakat secara langsung.
Ketiga, menciptakan momentum politik bersama. Karena
mssa memang di perlukan dalam hal ini
Akhir kata, mungkin saya ingin menyampaikan, memang
pemilu mahasiswa adalah ajang dimana kita dapat terjun langsung dalam sebuah
pembelajaran nyata demi membuktikan eksistensi kita sebagai mahasiswa. Tetapi
kita juga tidak harus melupakan bahwa
eksistensi kita yang sebenarnya adalah saat kita ada di pihak rakyat dan
keadilan, tanpa mengusung kepentingan apapun, dan tanpa mempertontonkan
golongan apapun. Eksistensi kita, tidaklah kita dapat dari pertarungan
perebutan kekuasaan.
Dartar Pustaka
Al-Zastrow,
Ngatrawi. 1998. Reformasi Pemikiran, Yogyakarta : LKPSM
Anderson,
Ben. 1988.Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda di Jawa
1944-1949. Jakarta: Sinar Harapan
Arbi Sanit,
Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998, hal.267.
Arief
Budiman, Peranana Mahassiwa sebagai Inteligensia dalam Cendekiawan dan Politik
diedti Waitamo Soekito, Jakarta, Lp3ES, 1984, hal.160.
Denny JA,
Menjelaskan Gerakan Mahasiswa, Harian Kompas, 25 April 1998.
Dikutip
Asep Setiawan dalam Diktat Gerakan Sosial. Jakarta: Jurusan Ilmu Politik, FISIP
UMJ, 1998, hal.10
Majalah
Ilmiah UNIKOM Vol.9, No. 1 ANDRIAS DARMAYADI, MSi
Maruapey,
M. husein, POPULIS, volume 3 No 1 september 2008
Muradi,
Disampaikan pada Diskusi Publik “Roadshow Kemanusiaan:Menyelamatkan
Ingatan—Melawan Kekerasan. Jatinangor, 25 April 2006, PSBJ Jatinangor
diselenggarakan oleh Taman Bunga-BEM FISIP Unpad-Jaringan Peduli Kemanusiaan.
Nan Lin,
Social Movement dalam Encyclopedia of Sociology. New York: MacMillan Publishing
Company, 1992, hal. 1880
Revolusi
Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda di Jawa 1944-1949. Jakarta:
Sinar Harapan.
Ridwan
Saidi, Mahasiswa dan Lingkaran Politik, Ja karta : lembaga Pers Mahasiswa
Mapussy Indonesia,1989, hal.232.
Riswandha
Imawan, “Kelompok Kepentingan danKelompok Penekan” dalam Riza Noer Arfani, Demokrasi
Indonesia Kontemporer 1996.Jakarta: Paramadina.
Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan :
Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Yogyakarta : INSIST Press
& Pustaka Pelajar
Abstraks
Saat kita berbicara tentang pemilu mahasiswa, tidak
lepas kaitannya dengan gerakan dan eksistensi mahasiswa, dan mahasiswa itu
sendiri Peran mahasiswa sangatlah besar dalam suatu masyarakat ataupun negara,
seperti sebagai penyalur aspirasi rakyat dan penyampai kebijakan pemerintah
kepada khalayak umum, sebagai pembela kemurnian dan pelopor pembangunan serta
pembawa perubahan sosial politik tapi kini gerakan dan eksistensi nahasiswa
mulai dipertanyaka, sehingga muncul istilah mahasiswa apatis. Karena itu ada tiga bidang usaha yang perlu dilakukan
agar dapat melahirkan mahasiswa yang kritis, yaitu
1. Melengkapi
kemampuan mahasiswa,
2. Mengembangkan
kehidupan kampus
3. Menumbuhkan
kehidupan politik serta kemasyarakatan sebagai pendorongnya.
Adapun berbagai aktivitas mahasiswa yang muncul
terbagi dalam berbagai bentuk:
1. Kelompok
asketisme-religi yaitu kelompok yang ditandai dengan adanya semangat keagamaan
yang tinggi, tercermin melalui simbol-simbol formal dan syiar-syiar ritual
keagamaan.
2. Kelompok profesional-individual
yang ditandai dengan adanya kompetisi yang cukup tinggi dalam bidang skill
profesional.
3. Kelompok
konsumtif-hedonistik, yaitu kelompok yang lebih menekankan aspek hura-hura dan
kenikmatan duniawi semata.
4. Kelompok
proletariat yaitu kelompok dengan gerakan yang langsung menyentuh pada
persoalan masyarakat secara riil, sebagaimana manifestasi kesadaran dan
kepedulian terhadap realitas yang ada.
5. Kelompok
aktivis organisatoris yaitu kelompok mahasiswa yang melakukan kegiatan melalui
organisasi formal.
Lebih lanjut, sebuah gerakan mahasiswapun mulai
dianggap memudar, dan alasan kenapa
anggapan itu muncul adalah :
1. Kehilangan
momentum politik.
2. Peluang
politik pasca momentum politik.
3. Polarisasi
ideologi gerakan mahasiswa.
4. Ketidakmampuan
menjaga stamina gerakan
5. Kelima,
tingkat represif yang ketat ataupun sebaliknya.
Lalu untuk mengatasi masalah yang di hadapi oleh
gerakan mahasiswa itu dapat di lakukan dengan :
1. Membangun
satu kesadaran yang utuh kepada semua elemen gerakan mahasiswa untuk
bersama-sama membangun satu gerakan yang sinergis dan komprehensif tentang
pengusungan isu bersama.
2. Membangun
aliansi taktis-strategis untuk isu-isu tertentu Memang ada tiga prasyarat agar
aliansi-taktis-strategis tersebut dapat berhasil:
a. Isu yang
diusung merupakan isu yang tidak terkait langsung dengan permasalahan
mahasiswa, dan masyarakat secara luas.
b. Tingkat
partisipasi politik mahasiswa cenderung stabil, dengan berbagai latar belakang
ideologi politik.
c.
Kepemimpinan massa ada pada masyarakat secara
langsung.
3. Menciptakan
momentum politik bersama.
[1] Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemoeda:
Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda di Jawa 1944-1949. Jakarta: Sinar
Harapan.
[2] Muradi, Disampaikan pada Diskusi Publik “Roadshow
Kemanusiaan:Menyelamatkan Ingatan—Melawan Kekerasan. Jatinangor, 25 April 2006,
PSBJ Jatinangor diselenggarakan oleh Taman Bunga-BEM FISIP Unpad-Jaringan
Peduli Kemanusiaan.
[3] Maruapey, M. husein, POPULIS, volume 3 No 1
september 2008
[4] Al-Zastrow, Ngatrawi. 1998. Reformasi
Pemikiran, Yogyakarta : LKPSM
[5] Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan :
Gera-kan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Yogya-karta : INSIST Press
& Pustaka Pelajar, 1999, hal.10
[6] Arbi Sanit, Op. Cit., hal.18
[7] Ridwan Saidi, Mahasiswa dan Lingkaran Politik,
Ja karta : lembaga Pers Mahasiswa Mapussy Indonesia,1989, hal.232.
[8] Nan Lin, Social Movement dalam Encyclopedia of
Sociology. New York: MacMillan Publishing Company, 1992, hal. 1880
[9] Dikutip Asep Setiawan dalam Diktat Gerakan
Sosial. Jakarta: Jurusan Ilmu Politik, FISIP UMJ, 1998, hal.10
[11] Denny JA, Menjelaskan Gerakan Mahasiswa,
Harian Kompas, 25 April 1998.
[12] Arief Budiman, Peranana Mahassiwa sebagai
Inteligensia dalam Cendekiawan dan Politik diedti Waitamo Soekito, Jakarta,
Lp3ES, 1984, hal.160.
[13] Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1998, hal.267.
[14] Riswandha Imawan, “Kelompok Kepentingan
danKelompok Penekan” dalam Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer 1996.Jakarta:
Paramadina.
[15] Muradi, Disampaikan pada Diskusi Publik
“Roadshow Kemanusiaan:Menyelamatkan Ingatan—Melawan Kekerasan. Jatinangor, 25
April 2006, PSBJ Jatinangor diselenggarakan oleh Taman Bunga-BEM FISIP
Unpad-Jaringan Peduli Kemanusiaan.