Jumat, 31 Januari 2014

PENDAHULUAN

Pemilu mahasiswa?? Menurut saya, pemilu mahasiswa adalah sebuah cerminan masa depan bagaimana pemilu nasional negara itu akan berlangsung. Kenapa? Karena memang mahasiswa-mahasiswa itu lah yang nantinya akan menggantikan pendahulunya di atas kursi-kursi kekuasaan itu. Dalam pemilu mahasiswapun masalah yang dihadapi tidak jauh beda dengan pemilu nasional seperti selalu adanya pihak yang akan mempertanyakan keaktualitasan dari hasil perhitungan suara,jumlah suara yang jauh lebih banyak dari jumlah pemilih, ataupun sikap saling menjatuhkan antar calon dengan kritik-kritik seperti tentang pengkritikan pemasangan spanduk-spanduk, yang tidak pada tempatnya ataupun yang berdampak buruk pada lingkungan.
Pemilu mahasiswapun pada dasarnya, merupakan sebuah pembelajaran nyata bagi mahasiswa dalam bidang sosial politik. Dalam suatu pembelajaran itu sendiri, tidak diharamkan adanya suatu perubahan atau pembaharuan, bahkan sesungguhnya pembelajaran itu sendiri menuntut adanya perubahan atau pembaharuan dari apa yang ada sebelumnya.
 Mahasiswa sendiri paham bahwa pemilu mahasiswa adalah tempat pembelajaran nyata bagi diri mereka di bidang sosial politik, karena memang banyak dari dosen mereka yang menganjurkan mereka agar ikut terjun dalam pemilu mahasiswa sebagai media pembelajaran mereka. Tapi, ironi sekali melihat gerak-gerik mahasiswa dewasa ini. Mereka seakan lupa dengan peran mereka sebagai agent of change, mereka terlalu condong untuk hanya mengikuti arus perpolotikan yang ada. Mereka seakan-akan hanya menerima semua hal yang ada di depan mereka ataupun yang di berikan pada mereka, mereka hanya hidup mengikuti arus tanpa memikirkan apapun. Mereka hanya terjun, masuk dalam sebuah pergerakan politik mahasiswa, atau mengamati yang bahkan lebih condong hanya mengkritisi. Dan hanya karena melakukan hal itu mereka telah bangga sekali, seolah-olah mereka telah berhasil menemukan jalan yang benar dalam hidupnya, ironi sekali, bahwasanya mereka bahkan belum memenuhi kewajiban mereka sebagai mahasiswa, sebagai agen perubahan. Mereka hanya mengikuti lika-liku sebuah perpolitikan, seakan menjadi budak dan hanya mengikuti aturan main yang belum tentu seperti itu kebenarannya,dan mahasiswa sekarang memang hanya cenderung mengikuti, bukannya memberi suatu proses baru demokrasi. Bahkan mahasiswa sekarang cenderung terindikasi oleh suatu sistem politik praktis alias partai politik, tidak sadarkah bahwa mereka sebenarnya hanya cenderung dijadikan sebagai alat politik oleh mereka, dan jika sudah seperti itu, apa yang bisa di banggakan dari mahasiswa, dari sekumpulan orang yang di anggap masyarakat berpendidikan, dan yang diharapkan membawa suatu perubahan
Apakah sebuah perubahan itu dapat dicapai hanya mengikuti arus yang ada? sepertinya tidak, kita harus berani menyuarakan suara kita walaupun berbeda, kita harus berani melawan arus itu agar dapat mewujudkan sebuah perubahan. Dan bila memang tidak ada perubahan dari mahasiswa, maka tidak berubah pula tatanan demokrasi di negara ini. Karena masalah yang akan muncul sama saja, karena memang demokrasi kampus dalam pemilu mahasiswa sama saja seperti pemilu nasional saat ini. Ironi bukan, saat mahasiswa yang di gadang-gadang membawa suatu perubahan, mahasiswa yang selalu meneriaki pemerintah, tetapi ternyata tidak lebih baik dari pemerintah itu sendiri. Lalu bila sudah seperti itu, yang patut kita pertanyakan adalah, ‘dimana eksistensi mahasiswa ?’
Dalam pemilu mahasiswapun kita tidak bisa melepaskan keterkaitannya dengan suatu gerakan-gerakan mahasiswa itu sendiri, baik intra maupun ekstra kampus. Dan dalam sejarah, pergerakan mahasiswapun memiliki karakteristik masing-masing dan tantangan yang berbeda-beda. Sebuah gerakan itu pula yang memotivasi dan membentukan karakter mahasiswa itu, secara garis besar dari gerakan mahasiswa yang terbagi dalam organisasi-organisasi intra maupun ekstra kampus itulah mahasiswa mendapat pengaruh besar, mulai dari pola pikir, tujuan mereka, visi, misi, dan jalan hidup mana yang akan mereka ambil. Organisasi-organisasi tempat mereka bernaung lah yang sangat mempengaruhi hal itu.
Kembali menelaah kepada sejarah pergerakan mahasiswa yang memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda, dan yang mampu melawan arus demi sebuah perubahan hingga sampai pada masa generasi kita ini. Lalu, bagaimana dengan kondisi pergerakan mahasiswa pada masa kini?, bila menelaah dari uraian yang telah saya sampaikan di awal tadi, apakah mungkin mahasiswa pada generasi ini dapat melakukan perubahan, bila yang mereka lakukan hanyalah mengikuti arus yang ada, dan bahkan mungkin mereka telah beralih peran dari yang awalnya sebagai agen perubahan menjadi alat politik?, mengingat eksistensi merekapun telah di pertanyakan.
Disini saya tidak menjabarkan tentang persamaan pemilu mahasiswa dan pemilu nasional kita, karena memang seperti itulah persamaan yang akan berjalan dan mungkin hal itupun sudah dipahami oleh kebanyakan orang, dan mungkin juga akan keluar tema bila semisal saya membahas hal itu. Dalam hal ini saya akan lebih focus pada gerakan dan eksistensi mahasiswa itu.
Benedict Anderson, seorang Indonesianist mengungkapkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya.[1] Hal itu tidak lah salah mengingat begitu berperannya kaum pemuda Indonesia dalam membawa suatu perubahan terhadap bangsa kita ini, bahkan banyak peristiwa-peristiwa bersejarah tentang perubahan bangsa Indonesia ini ke arah kemajuan yang di motori oleh peran ikut serta pemuda seperti, peristiwa rengasdeklok yang akhirnya membawa kita ke pada pintu kemerdekaan, peristiwa yang menjatuhkan soekarno dari jabatannya, dan runtuhnya rezim soeharto yang telah menjabat selama 32 tahun, dan juga sebagai era reformasi bangsa Indonesia. Dan oleh karena itu, disini saya akan lebih menjabarkan tentang problema dan solusi tentang gerakan dan eksistensi mahasiswa masa kini.



Pembahasan

Mahasiswa
Lewis Coser : mahasiswa merupakan cendekiawan, yaitu orang-orang yang kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya..., mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku suatu saat, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas.14 Dalam hal ini mahasiswa menjadi sosok yang unik dalam masyarakat, bukan hanya karena ilmu mereka, ataupun ke kreatifan mereka, tapi ke kritisan mereka dalam menanggapi suatu hal, itulah yang menjadi ciri khas tersendiri dari mahasiswa.
Di samping itu, mahasiswa juga di kenal sebagai golongan yang pro rakyat dan berani menyuarakan aspirasi rakyat. Menurut Jumadi(2009:120) bahwa : mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat terhadap alur dan logika penguasa dan sebaliknya sebagai penyampai kebijakan penguasa terhadap komunitas umum, demi terciptanya alur kehidupan yang dinamis dan seimbang antara pengambil kebijakan dan objek kebijakan. Selain itu, menurut Raillon (1989:140-194) bahwa “mahasiswa sebagai pembela kemurnian, keadilan dan perintis renovasi dan agen perubahan, serta pelopor pembangunan”. Tokoh lain Culla (1999:8-9) mengatakan bahwa “mahasiswa sebagai actor atau ujung tombak perubahan sosial dan politik, karena merekalah kekuatan sosial yang sangat responsive terhadap kondisi struktur politik”.[2]
Dari pendapat para tokoh di atas dapat diambil sebuah garis besar, dimana peran mahasiswa sangat lah besar dalam suatu masyarakat ataupun negara, seperti sebagai penyalur aspirasi rakyat dan penyampai kebijakan pemerintah kepada khalayak umum, sebagai pembela kemurnian dan pelopor pembangunan serta pembawa perubahan sosial politik. Hal itupun telah terbukti bila kita menelaah sejarah bangsa ini, dimana mahasiswa berjuang membela kepentingan rakyat dan membela keadilan.  
Menurut Arbi Sanit (1985) terdapat  lima hal yang melatar belakangi  penyebab tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap persoalan yang bertitik fokus pada perjuangan membela kepentingan rakyat:

1.      Mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik memiliki persepektif atau pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat.
2.      Mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda.
3.      Kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka.
4.      Mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasan, struktur ekonomi, dan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok elit di kalangan kaum muda.
5.      Mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian berbagai masalah yang timbul di tengah kerumunan masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.[3]

Dalam hal ini, kita juga menyadari bahwa ada berbagai tipe dari mahasiswa dan menurut Al-Zastrouw[4], aktivitas mahasiswa yang muncul terbagi dalam berbagai bentuk:

1.      Kelompok asketisme-religi yaitu kelompok yang ditandai dengan adanya semangat keagamaan yang tinggi, tercermin melalui simbol-simbol formal dan syiar-syiar ritual keagamaan.
2.      Kelompok profesional-individual yang ditandai dengan adanya kompetisi yang cukup tinggi dalam bidang skill profesional.
3.      Kelompok konsumtif-hedonistik, yaitu kelompok yang lebih menekankan aspek hura-hura dan kenikmatan duniawi semata.
4.      Kelompok proletariat yaitu kelompok dengan gerakan yang langsung menyentuh pada persoalan masyarakat secara riil, sebagaimana manifestasi kesadaran dan kepedulian terhadap realitas yang ada.
5.      Kelompok aktivis organisatoris yaitu kelompok mahasiswa yang melakukan kegiatan melalui organisasi formal.

Secara garis besar, kita sendiri menyadari bahwa tersapat dua tipe dari mahasiswa tersebut yaitu mahasiswa yang aktif atau biasa disebut aktifis, dan mahasiswa yang pasif, atau disebut apatis. Seorang mahasiswa disebut sebagai aktifis jika ia tidak hanya menekuni disiplin ilmunya saja, tetapi ia juga ikut dalam berbagai kegiatan. Misalnya kelompok diskusi/kelompok studi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas serta organisasi kepemudaan. Sedangkan mahasiswa apatis lebih menarik dirinya menjauh dari proses politik. Kebanyakan dari mereka lebih fokus ke kuliah mereka ataupun hidup mereka. Ya, memang kuliah penting, tapi bukankah nanti dalam dunia kerja bukan ilmu saja yang di butuhkan, bahkan keterampilanlah yang menjadi kunci dalam keberhasilan di dunia luar. Dan karena itu lah sangat penting kita ikut berpartisipasi dalam lingkungan kita, selain itu dengan bersifat apatis kitapun secara tidak langsung telah menghilangkan keunikan kita sebagai mahasiswa yang selalu kritis terhadap sesuatu.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa berpeluang untuk berada pada posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat. Sejalan dengan posisi mahasiswa di dalam peran masyarakat atau bangsa, dikenal dua peran pokok yang selalu tampil mewarnai aktivitas mereka selama ini. Pertama, ialah sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, yaitu sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan.[5]
Oleh karena itu, mengingat pentingnya peran mahasiswa, maka kita harus berusaha mengembalikan eksistensi mahasiswa dalam kehidupan berbanggsa dan bernegara ini. Menurut Arbi Sanit,[6] ada tiga bidang usaha yang perlu dilakukan agar dapat melahirkan mahasiswa yang kritis, yaitu melengkapi kemampuan mahasiswa, mengembangkan kehidupan kampus, dan menumbuhkan kehidupan politik serta kemasyarakatan sebagai pendorongnya.
Pertama, kemampuan pelengkap mahasiswa dimaksudkan sebagai pendamping keahlian dan ketrampilan yang mereka dapatkan melalui proses di luar kurikulum tersebut ialah kebolehannya dalam menganalisa dan memahami masalah kemasyarakatan dan politik, yang berguna bagi pembentukan sikap mereka terhadap masalah-masalah tersebut. Karena itu disamping ilmu-ilmu yang mendasari keahlian, mahasiswa diberi kesempatan pula untuk mengenali atau menguasai ideologi, budaya politik, struktur sosial dan permasalahan kepemimpinan bangsa. Sarana yang mereka perlukan untuk mendapatkan kemampuan non kurikuler tersebut ialah melalui diskusi, dan berorganisasi.
Kedua, kehidupan kampus yang memungkinkan mahasiswa mendapatkan kemampuan dan wawasan yang lebih luas tersebut adalah adanya kebebasan ilmiah yang lebih utuh dikalangan sivitas akademika sehingga kampus menjadi pusat pemikiran yang melahirkan gagasan alternatif  bagi perbaikan dan pengembangan masyarakat.
Ketiga, kondisi di luar kehidupan kampus yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan non-profesional mahasiswa serta lulusan perguruan tinggi ialah ditumbuhkannya sikap politis yang mem-percayai mahasiswa seperti adanya sebagai potensi pembangunan, tumbuhnya aktivitas organisasi mahasiswa ekstra universitas, dan lain-lain. Melalui mekanisme seperti itulah, mahasiswa bisa bangkit dan memiliki kemampuan untuk menjadi motor perubahan.
Selain itu, Ridwan Saidi juga menyebutkan bahwa mahasiswa pada dasarnya memiliki persepsi politik yang terbentuk dari arus informasi yang dicernanya sehari-hari, melalui proses pertukaran pikiran dengan sesama rekan yang berlangsung secara tidak sengaja dalam kehidupan sehari-hari, realita kehidupan kemasyarakatan yang dapat direkamnya. Ekspresi atau ungkapan, dan persepsi politik yang dimiliki seseorang tergantung dari individu yang bersangkutan. Mereka dapat saja menjadi reluctant, bahkan apatis sekalipun dengan kehidupan politik.
Salah satu ekspresi politik mahasiswa dalam bentuk aktif yang di gambarkan oleh Ridwan Saidi adalah keikutsertaan mahasiswa pada organisasi kemahasiswaan. Menurutnya, organisasi mahasiswa sangat penting artinya sebagai arena pengembangan nilai-nilai kepemimpinan. Masalah kepemimpinan bukan sekedar bakat yang secara alami melekat pada seseorang. Kepemimpinan juga tidak dapat dikursuskan. Pengembangan kepemimpinan memerlukan latihan-latihan. Karena itu, organisasi mahasiswa mengemban fungsi sebagai training ground. Sehingga mahasiswa tidak dipandang sekedar sebagai insan akademis yang cuma tahu lagu, buku dan cinta tanpa kepedulian terhadap masalah sosial kemasyarakatan.[7]

Organisasi Mahasiswa
Dalam hal ini saya akan membahas gerakan mahasiswa dalam ruang lingkup organisasi-organisasi mahasiswa. Seperti yang telah disinggung di atas tadi, bahwa berorganisasi adalah salah satu cara ataupun usaha yang dapat dilakukan agar dapat melahirkan kembali jiwa mahasiswa yang kritis, menumbuhkan jiwa pemimpin, menjadikan kembali mahasiswa sebagai ujumg tombak perubahan dan mengembalikan eksistensi mahasiswa. Beroganisasi bagi mahasiswa memanglah sangat penting. Beroganisasi bisa merupakan ajang latihan bagi mahasiswa. Beroganisasi itu ibarat media untuk melatih kepekaan sosial, dan lain sebagainya. Berikut ini beberapa manfaat berorganisasi bagi mahasiswa, yaitu:

1.      Memperluas pergaulan
2.      Meningkatkan wawasan/pengetahuan
3.      Membentuk pola pikir yang lebih baik
4.      Menjadi kuat dalam menghadapi tekanan
5.      Meningkatkan kemampuan berkomunikasi
6.      Melatih leadership (kepemimpinan)
7.      Belajar mengatur waktu
8.      Memperluas jaringan (networking)
9.      Mengasah kemampuan sosial
10.  Ajang latihan dunia kerja yang sesungguhnya

Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial yang didefinisikan Nan Lin (1992)[8]sebagai upaya kolektif untuk memajukan atau melawan perubahan dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Rudolf Heberle (1968)[9]menyebutkan bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde baru. Bahkan Eric Hoffer (1988) [10]menilai bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan.
Gerakan mahasiswa adalah gerakan sosial sesuai dengan yang didefinisikan beberapa tokoh di atas, dan penyebab dari munculnya suatu gerakan sosial amatlah beragam,berikut penyebab-penyebab munculnya gerakan sosial :

Teori awal menyebutkan, sebuah gerakan muncul ketika masyarakat menghadapi hambatan struktural karena perubahan sosial yang cepat seperti disebutkan Smelser (1962). Denny JA juga menyatakan adanya tiga kondisi lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa.[11]
Pertama,  gerakan sosial dilahirkan oleh kondidi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter.
Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya gerakan sosial.
Ketiga, gerakan sosial semata-mata masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan.Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal.
Selain itu, gerakan mahasiswa juga sebagai gerakan moral, ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya. Arief Budiman yang menilai sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya mereka sendiri. Mereka sering menenkankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan politik”.[12] Aksi protes yang dialncarkan mahassiwa berupa demonstrasi di jalan dinilai juga sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis.
Sependapat dengan Arief Budiman,  Arbi Sanit menyatakan komitmen mahasiswa yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah sadar politik mahasiswa. Karena itu politik mahasiswa digolongkan sebagai kekuatan moral.[13] Kemurnian sikap dan tingkah laku ,mahassiwa menyebabkan mereka dikategorikan sebagai kekuatan moral, yang dengan sendirinya memerankan politik moral.
Tetapi, pada perkembangannya dewasa ini, suatu gerakan mahasiswa ataupun organisasi-organisasi mahasiswa mulai di sepelekan karena peran dan eksistensinya yang dirasa kurang dan seakan-akan mengalami kemunduran. Selain itu, masyarakat pun menilai bahwa pergerakan-pergerakan mahasiswa pada masa kini sudah lah tidak murni untuk membela kepentingan rakyat, melainkan telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik.  Dalam pandangan Riswandha Imawan, gerakan mahasiswa di Indonesia dikelompokkan dalam kelompok kepentingan dan kelompok penekan[14], namun secara garis besar Imawan mengelompokkan gerakan mahasiswa dalam kelompok kepentingan yang tidak terikat dalam satu perjanjian politik praktis. Akan tetapi Imawan juga menegaskan bahwa pola dan cara gerakan mahasiswa cenderung memiliki irisan dengan partai politik, LSM, dan kelompok kepentingan lain, khususnya dalam dua cara dan pola mahasiswa dalam mengekspresikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat, yakni:

1.      Menawarkan kepentingan masyarakat yang sudah diartikulasikan untuk ’dibeli’ dan direspon oleh partai politik.
2.      Secara langsung menyampaikan aspirasi masyarakat ke pemerintah, yang sering didahului adanyapolemik di masyarakat.

Sedangakan menurut Muradi Ada lima alasan mengapa gerakan mahasiswa menjadi terlihat tidak ’seksi’, ’mati angin’ dan cenderung terjebak dalam proses dan aktivitas politik lanjutan, yang dipandang sebagai suatu upaya memadamkan semangat perjuangan :

1.      Kehilangan momentum politik. Satu tesis yang hingga saat ini sulit dibantah adalah bahwa kerap kali momentum besar tercipta tidak mampu dijaga dan dipertahankan oleh mahasiswa untuk menuntaskan agenda dan aspirasi masyarakat. Bahkan ada kecenderungan logika diaspora politik dilakukan bercampur dengan ambisi politik dari pelaku dalam pergerakan mahasiswa tersebut.
2.       Peluang politik pasca momentum politik. Peluang politik tersebut menjadi satu permasalahan tersendiri ketika dikaitkan dengan netralitas dan kepentingan mahasiswa yang hanya untuk masyarakat. Peluang politik tersebut terkait dengan upaya untuk menggayung sambuti langkah dan perjuangan lanjutan pasca momentum politik. Bentuk dari peluang politik tersebut bisa dari kekuasaan yang baru, kesempatan untuk aktif dalam LSM, dan partai politik.
3.      Polarisasi ideologi gerakan mahasiswa. Salah satu konsekuensi dari kemenangan politik mahasiswa adalah terbukanya peluang masyarakat untuk mengembangkan diri dalam berbagai organisasi, termasuk organisasi mahasiswa. Bila sebelum kejatuhan Soeharto dan Orde Baru,organisasi mahasiswa radikal banyak didominasi oleh kalangan pro demokrasi dan organisasi informal.Maka pasca kejatuhan Orde Baru, berdiri berbagai organisasi yang tidak kalah radikalnya, baik dari informal kampus maupun organisasi formal kampus.
4.      Ketidakmampuan menjaga stamina gerakan. Hal yang sama persis juga terjadi pada berbagai angkatan. Sekedar contoh misalnya pada kasus Malari, yang ’diinisiasi’ oleh Angkatan 74 atau pada kasus diberlakukannya NKK/BKK pasca gerakan yang dilakukan oleh Angkatan 77/78.
5.      Kelima, tingkat represif yang ketat ataupun sebaliknya. Tingkat represif yang longgar ternyata membawa implikasi pada efektifitas gerakan mahasiswa. Sekedar contoh pada Angkatan 80-an, karena tingkat represif yang tinggi, banyak aktivis gerakan mahasiswa beralih ke ruang-ruang diskusi ataupun banting stir menjadi pegiat LSM.[15]  
Ada tiga formula bagi upaya untuk mengefektifkan gerakan mahasiswa sebagai bagian dari kontrol dan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan.
Formula pertama, membangun satu kesadaran yang utuh kepada semua elemen gerakan mahasiswa untuk bersama-sama membangun satu gerakan yang sinergis dan komprehensif tentang pengusungan isu bersama, seperti penolakankenaikan harga BBM, dukungan mahasiswa terhadap penolakan revisi UU No. 13/2001 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini jelas mengandung konsekuensi untuk melepas baju eksistensi kelompok,ideologi, kepentingan, patronase, hingga tujuan dari perjuangan yang lebih sempit. Sejatinya formula inirelatif ideal dan pernah berhasil saat berbagai elemen gerakan mahasiswa bersatu padu dalam menjatuhkan Soeharto dan Orde Baru 1998 lalu, meski beberapa saat kemudian terpecah kembali pada basis gerakannya.
Formula kedua, membangun aliansi taktis-strategis untuk isu-isu tertentu. Aliansi-taktis-strategis ini sejatinya rumit dan mengundang permasalahan baru dalam praktiknya. Akan tetapi dalam kasus dukungan mahasiswa dalam aksi buruh menolak perubahan terhadap undang-undang perburuhan di Perancis beberapa waktu lalu justru efektif. Memang ada tiga prasyarat agar aliansi-taktis-strategis tersebut dapat berhasil:

1.      Isu yang diusung merupakan isu yang tidak terkait langsung dengan permasalahan mahasiswa, dan masyarakat secara luas.
2.      Tingkat partisipasi politik mahasiswa cenderung stabil, dengan berbagai latar belakang ideologi politik.
3.      Kepemimpinan massa ada pada masyarakat secara langsung.

Kepemimpinan politik menjadi satu permasalahan dalam integrasi gerakan mahasiswa di banyak negara, bahkan Perancispun mengalami kegagalan ketika gerakan mahasiswa pecah pada tahun 1968, karena kepemimpinan massa yang tidak tuntas.
Formula ketiga, menciptakan momentum politik bersama. Penciptaan momentum politik bersama harus disadari penuh akan ada yang leading  untuk berbagai kasus. Namun hal ini sesungguhnya menegaskan kepada kita semua bahwa tingkat kompetisi antar organisasi mahasiswa dapat teruji benar. Sekedar contoh misalnya sekarang ini, di mana organisasi mahasiswa yang memiliki jumlah dan basis massa yang jelas akan memimpin dalam berbagai momentum politik. Bahkan dalam pemerintahan juga seperti itu, saipa memiliki basisi massa terbenyak ia yang menang. Ya karena memang Negara kita adalah negara demokrasi dan resiko dari system demokrasi adalah itu, suara mayoritas belum tentu benar ataupun yang terbaik.


Baiklah setelah menelaah semua teori dan konsep dari bermacam-macam pihak, kita dapat melihat semua hal itu, gerakan mahasiswa dan eksistensi mahasiswa dalam sebuah rutinitas universitas, dan juga rutinitas para aktifis kampus yaitu, pada ajang pemilu mahasiswa.
Dalam pemilu mahasiswa, kita di hadapkan pada suatu proses demokrasi dimana berbagai unsur yang ada di dunia kampus turut serta dalam hal itu. Dalam pemilu mahasiswa sebuah gerakan dan eksistensi mahasiswa dapat terlihat jelas, kita dapat mengetahui atau melihat tipe-tipe mahasiswa, peran dan gerak-gerik suatu organisasi kampus( intra maupun ekstra kampus ), dan fenomena-fenomena apa yang terjadi di dalam proses demokrasi kampus itu, seperti yang telah saya jabarkan di atas, semua penjabaran itu dapat langsung terlihat dan di pahami dalam ajang itu.
Seperti, apa, bagaimana, dan seperti apa mahasiswa apatis itu, atau seperti apa seorang aktifis kampus itu,lalu organisasi mahasiswa sebagai gerakan mahasiswa berperan seperti apa ataupun bertindak atas dasar apa ? semua hal itu dapat terlihat dalam pemilu mahasiswa.   







Penutup
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas, kita dapat garis besar, bahwa mahasiswa adalah unsur penting dan merupakan sosok yang di harapkan dapat membawa bangsa ini kea rah perubahan yang lebih baik. Tetapi  kondisi dewasa ini menunjukan kondisi yang kurang sesuai dengan harapan masyarat. Mahasiswa mulai menunjukkan sosoknya yang egois, dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, yang biasa kita kenal sebagai mahasiswa apatis. Dan untuk menanggulangi hal itu, maka peran organisasi mahasiswa sangat berperan di dalam pembentukan karakter mahasiswa tersebut.
Tetapi dewasa ini, kinerja organisasi sebagai salah satu pergerakan mahasiswa mulai di pertanyakan kemurnian dan eksistensinya. Karena memang mulai ada indikasi bahwa gerakan mahasiswa tidak lagi murni membela rakyat dan keadilan tetapi telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, kepentingan kelompok dan juga kepentingan individu pula.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan gerakan dan eksistensi mahasiswa pada taraf yang sebenarnya, dari data di atas di peroleh beberapa cara seperti:
Pertama, membangun satu kesadaran yang utuh kepada semua elemen gerakan mahasiswa untuk bersama-sama membangun satu gerakan yang sinergis dan komprehensif tentang pengusungan isu bersama
Kedua, membangun aliansi taktis-strategis untuk isu-isu tertentu. Aliansi-taktis-strategis ini sejatinya rumit dan mengundang permasalahan baru dalam praktiknya. prasyarat agar aliansi-taktis-strategis tersebut dapat berhasil:
o   Isu yang diusung merupakan isu yang tidak terkait langsung dengan permasalahan mahasiswa, dan masyarakat secara luas.
o   Tingkat partisipasi politik mahasiswa cenderung stabil, dengan berbagai latar belakang ideologi politik.
o   Kepemimpinan massa ada pada masyarakat secara langsung.
Ketiga, menciptakan momentum politik bersama. Karena mssa memang di perlukan dalam hal ini
Akhir kata, mungkin saya ingin menyampaikan, memang pemilu mahasiswa adalah ajang dimana kita dapat terjun langsung dalam sebuah pembelajaran nyata demi membuktikan eksistensi kita sebagai mahasiswa. Tetapi kita juga tidak harus melupakan bahwa  eksistensi kita yang sebenarnya adalah saat kita ada di pihak rakyat dan keadilan, tanpa mengusung kepentingan apapun, dan tanpa mempertontonkan golongan apapun. Eksistensi kita, tidaklah kita dapat dari pertarungan perebutan kekuasaan.  
Dartar Pustaka

Al-Zastrow, Ngatrawi. 1998. Reformasi Pemikiran, Yogyakarta : LKPSM
Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda di Jawa 1944-1949. Jakarta: Sinar Harapan
Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998, hal.267.
Arief Budiman, Peranana Mahassiwa sebagai Inteligensia dalam Cendekiawan dan Politik diedti Waitamo Soekito, Jakarta, Lp3ES, 1984, hal.160.
Denny JA, Menjelaskan Gerakan Mahasiswa, Harian Kompas, 25 April 1998.
Dikutip Asep Setiawan dalam Diktat Gerakan Sosial. Jakarta: Jurusan Ilmu Politik, FISIP UMJ, 1998, hal.10
Majalah Ilmiah UNIKOM Vol.9, No. 1 ANDRIAS DARMAYADI, MSi
Maruapey, M. husein, POPULIS, volume 3 No 1 september 2008
Muradi, Disampaikan pada Diskusi Publik “Roadshow Kemanusiaan:Menyelamatkan Ingatan—Melawan Kekerasan. Jatinangor, 25 April 2006, PSBJ Jatinangor diselenggarakan oleh Taman Bunga-BEM FISIP Unpad-Jaringan Peduli Kemanusiaan.
Nan Lin, Social Movement dalam Encyclopedia of Sociology. New York: MacMillan Publishing Company, 1992, hal. 1880
Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda di Jawa 1944-1949. Jakarta: Sinar Harapan.
Ridwan Saidi, Mahasiswa dan Lingkaran Politik, Ja karta : lembaga Pers Mahasiswa Mapussy Indonesia,1989, hal.232.
Riswandha Imawan, “Kelompok Kepentingan danKelompok Penekan” dalam Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer 1996.Jakarta: Paramadina.
Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Yogyakarta : INSIST Press & Pustaka Pelajar


Abstraks

Saat kita berbicara tentang pemilu mahasiswa, tidak lepas kaitannya dengan gerakan dan eksistensi mahasiswa, dan mahasiswa itu sendiri Peran mahasiswa sangatlah besar dalam suatu masyarakat ataupun negara, seperti sebagai penyalur aspirasi rakyat dan penyampai kebijakan pemerintah kepada khalayak umum, sebagai pembela kemurnian dan pelopor pembangunan serta pembawa perubahan sosial politik tapi kini gerakan dan eksistensi nahasiswa mulai dipertanyaka, sehingga muncul istilah mahasiswa apatis. Karena itu  ada tiga bidang usaha yang perlu dilakukan agar dapat melahirkan mahasiswa yang kritis, yaitu
1.       Melengkapi kemampuan mahasiswa,
2.       Mengembangkan kehidupan kampus
3.       Menumbuhkan kehidupan politik serta kemasyarakatan sebagai pendorongnya.
Adapun berbagai aktivitas mahasiswa yang muncul terbagi dalam berbagai bentuk:
1.       Kelompok asketisme-religi yaitu kelompok yang ditandai dengan adanya semangat keagamaan yang tinggi, tercermin melalui simbol-simbol formal dan syiar-syiar ritual keagamaan.
2.       Kelompok profesional-individual yang ditandai dengan adanya kompetisi yang cukup tinggi dalam bidang skill profesional.
3.       Kelompok konsumtif-hedonistik, yaitu kelompok yang lebih menekankan aspek hura-hura dan kenikmatan duniawi semata.
4.       Kelompok proletariat yaitu kelompok dengan gerakan yang langsung menyentuh pada persoalan masyarakat secara riil, sebagaimana manifestasi kesadaran dan kepedulian terhadap realitas yang ada.
5.       Kelompok aktivis organisatoris yaitu kelompok mahasiswa yang melakukan kegiatan melalui organisasi formal.
Lebih lanjut, sebuah gerakan mahasiswapun mulai dianggap memudar, dan alasan kenapa  anggapan itu muncul adalah :
1.   Kehilangan momentum politik.
2.   Peluang politik pasca momentum politik.
3.   Polarisasi ideologi gerakan mahasiswa.
4.   Ketidakmampuan menjaga stamina gerakan
5.   Kelima, tingkat represif yang ketat ataupun sebaliknya.
Lalu untuk mengatasi masalah yang di hadapi oleh gerakan mahasiswa itu dapat di lakukan dengan :
1.       Membangun satu kesadaran yang utuh kepada semua elemen gerakan mahasiswa untuk bersama-sama membangun satu gerakan yang sinergis dan komprehensif tentang pengusungan isu bersama.
2.       Membangun aliansi taktis-strategis untuk isu-isu tertentu Memang ada tiga prasyarat agar aliansi-taktis-strategis tersebut dapat berhasil:
a.       Isu yang diusung merupakan isu yang tidak terkait langsung dengan permasalahan mahasiswa, dan masyarakat secara luas.
b.       Tingkat partisipasi politik mahasiswa cenderung stabil, dengan berbagai latar belakang ideologi politik.
c.        Kepemimpinan massa ada pada masyarakat secara langsung.
3.       Menciptakan momentum politik bersama.




[1] Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda di Jawa 1944-1949. Jakarta: Sinar Harapan.
[2] Muradi, Disampaikan pada Diskusi Publik “Roadshow Kemanusiaan:Menyelamatkan Ingatan—Melawan Kekerasan. Jatinangor, 25 April 2006, PSBJ Jatinangor diselenggarakan oleh Taman Bunga-BEM FISIP Unpad-Jaringan Peduli Kemanusiaan.
[3] Maruapey, M. husein, POPULIS, volume 3 No 1 september 2008
[4] Al-Zastrow, Ngatrawi. 1998. Reformasi Pemikiran, Yogyakarta : LKPSM
[5] Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gera-kan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Yogya-karta : INSIST Press & Pustaka Pelajar, 1999, hal.10
[6] Arbi Sanit, Op. Cit., hal.18
[7] Ridwan Saidi, Mahasiswa dan Lingkaran Politik, Ja karta : lembaga Pers Mahasiswa Mapussy Indonesia,1989, hal.232.
[8] Nan Lin, Social Movement dalam Encyclopedia of Sociology. New York: MacMillan Publishing Company, 1992, hal. 1880
[9] Dikutip Asep Setiawan dalam Diktat Gerakan Sosial. Jakarta: Jurusan Ilmu Politik, FISIP UMJ, 1998, hal.10
[10] ibid
[11] Denny JA, Menjelaskan Gerakan Mahasiswa, Harian Kompas, 25 April 1998.
[12] Arief Budiman, Peranana Mahassiwa sebagai Inteligensia dalam Cendekiawan dan Politik diedti Waitamo Soekito, Jakarta, Lp3ES, 1984, hal.160.
[13] Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998, hal.267.
[14] Riswandha Imawan, “Kelompok Kepentingan danKelompok Penekan” dalam Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer 1996.Jakarta: Paramadina.

[15] Muradi, Disampaikan pada Diskusi Publik “Roadshow Kemanusiaan:Menyelamatkan Ingatan—Melawan Kekerasan. Jatinangor, 25 April 2006, PSBJ Jatinangor diselenggarakan oleh Taman Bunga-BEM FISIP Unpad-Jaringan Peduli Kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang..dan terimakasih.. :)