PAHAM
NASIONALISME
Pengertian Paham Nasionalisme
Nasionalisme diartikan sebagai suatu sikap politik
dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan
kebudayaan, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan
demikian kelompok tersebut merasakan adanya kesetiaan mendalam terhadap
kelompok bangsa itu.
Dalam perkembangan zaman, dikenal ada dua pengertian
nasionalisme. Pertama, paham nasionalisme yang didasarkan pada perpaduan politik,
ekonomi. sosial dan budaya. Kedua,paham nasionalisme yang didasarkan pada
faktor kemanusiaan. Negara-negara pemula penganut penganut yaitu Inggris, Jerman
dan Italia.
Beberapa bentuk dari nasionalisme
Beberapa bentuk dari nasionalisme
Nasionalisme
dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan
negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya,
keagamaan dan ideologi.
Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme
mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
Nasionalisme kewarganegaraan (atau
nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh
kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat";
"perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau
dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku
berjudul Du Contract Sociale
(atau dalam Bahasa Indonesia
"Mengenai Kontrak Sosial").
Nasionalisme etnis
adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari
budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder,
yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa
Jerman untuk "rakyat").
Nasionalisme
romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme
identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh
kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari
bangsa atau ras; menurut semangat romantisme.
Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang
menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep
nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan
oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme Budaya
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari
budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras
dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa
yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah
dibelakangkan di mana golongan Manchu
serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok.
Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat
istiadat Tionghoa
membuktikan keutuhan budaya
Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan
menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi
menolak RRC karena pemerintahan RRT
berpaham komunisme.
Nasionalisme
kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan,
selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah
kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan.
Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip
masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah
'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk
kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme,
serta nasionalisme Turki kontemporer,
dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme
sayap-kanan di Spanyol,
serta sikap 'Jacobin'
terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis,
seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia,
yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights)
dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque
atau Korsika.
Secara sistematis, bilamana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud
tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah,
seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi,
pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis
dengan nasionalisme Basque, Catalan,
dan Corsica.
Nasionalisme agama
ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari
persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah
dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia
semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik;
nasionalisme di India
seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama
Hindu.
Namun
demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan
bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad
ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang
menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di
Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi
semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan
Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia.
Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.
Para
pencetus Nasionalisme :
1.Joseph Ernest Renan ( 1823-1892)menganut
aliran nasionalisme yang didasarkan pada faktor kemanusiaan.
2. Otto Bauer ( 1882-1939) paham bangsa
timbul karena persamaan perangai dan tingkah laku dalam memperjuangkan
persatuan dan nasib yang sama.
3. Hans Kohn,
3. Hans Kohn,
paham nasionalisme timbul karena perpaduan
politik, ekonomi, social dan budaya.
4. Lois Snyder, nasionalisme hasil dari perpaduan faktor-faktor politis, ekonomi, sosial,dan intelektual pada suatu taraf di dalam sejarah.
4. Lois Snyder, nasionalisme hasil dari perpaduan faktor-faktor politis, ekonomi, sosial,dan intelektual pada suatu taraf di dalam sejarah.
Kelebihan dan kelemahan :
Barangkali
nasionalisme dan demokrasi, dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya,
dewasa ini ialah puncak asas moral politik itu. Mungkin, tak terlalu berlebihan
mereka dikatakan, sebagai gugus penyangga modernitas. Dan nasionalisme juga
demokrasi merupakan bagian penting dalam masyarakat dan politik. Adalah gagasan
paling menggairahkan. Hanya ada sedikit negara di dunia di abad ini yang tak
menyebut dirinya demokratis serta mengelu-elukan nasionalisme. Seakan kita
hidup di zaman “akhir sejarah” ketika sedikit sekali ideologi lain yang bisa
menandingi seruan dan gaung keduanya. Di mana nasionalisme serta demokrasi
menggema hampir di seluruh dunia: dari desa miskin di ujung Afrika sampai dusun
kecil di Wonosari.
Entah
kita suka atau tidak: tatkala tembok Berlin jebol pada 1989; diikuti dengan
ambrolnya ideologi komunis di negara bekas Uni Soviet dan sekutunya, sejumlah
negara Eropa Timur yang berlangsung hampir setengah abad; dan adanya gerakan
perlawanan besar-besaran terhadap otoritarianisme di Asia, Amerika Latin,
Afrika. Demokrasi kehilangan pembanding. Tak ada lagi ancaman besar terhadap
kekuasaan demokrasi sesudah pernyataan diri “dunia yang bebas” merayakan
keruntuhan imperium komunisme yang otoriter dan sengak itu. Sebab komunisme
secara dramatis dan liris membiarkan demokrasi melenggang sendirian. Tanpa
teman, tanpa lawan berarti satu pun. Masyarakat tanpa musuh, Ulrich Beck menyebutnya.
Atau, dengan nada mantap dan baris yang tegas, seperti diserukan Francis
Fukuyama: sejarah telah berakhir dengan tercapainya masyarakat demokratis
liberal dan kapitalisme.
Sungguh
ironis dan agak keterlaluan, andaikan benar demokrasi berjalan sendirian. Tiada
punya seteru politik yang mumpuni. Bukankah, jika hal itu sungguh terjadi,
patut disayangkan. Ia tak cukup sehat bagi gerak politik secara keseluruhan.
Namun, penegasan tentang susut dan raibnya kawan dan lawan bagi demokrasi, ini
bisa saja menyesatkan; terlalu gegabah; prematur.
Karena
barangkali komentar sinis itu muncul dari semacam kekecewaan yang dalam juga
tolol, dari perasaan takut (tipisnya harapan) yang dimiliki segelintir orang.
Tapi sayangnya saya akan memahaminya seperti berikut ini: mereka, para pemimpin
politik yang punya kendali pemerintahan, yang kelewat berani mengabaikan atau
bahkan terlanjur menyingkirkan demokrasi, laissez faire (atau
kapitalisme dengan prinsip otonomi, hak properti, redistribusi secara adil) dan
nasionalisme moderat akan mendatangkan risiko bagi legitimasi politiknya.
Entah
itu dalam skala lokal maupun global. “Para calon pemimpin politik,” demikian
tulis Ian Shapiro dalam bukunya Asas Moral dalam Politik, “bisa saja
kaum liberal atau konservatif, meritokrat atau egalitarian, nasionalis atau
kosmopolitan, multikulturalis atau unikulturalis. Namun akan semakin sulit, dan
jarang, bagi mereka untuk menentang demokrasi secara terbuka ketimbang menganut
salah satu pandangan yang tadi disebut. Bisa saja mereka menyerang korupsi dan
distorsi dalam demokrasi, atau berpendapat bahwa suatu sistem representasi
demokratis tertentu tidak adil […] namun mengakui legitimasi demokrasi bahkan
ketika mereka menghindarinya.” Ada paradoks di sana: itu benar. Tapi Ian
Shapiro, melalui ucapan di atas, apakah sedang mendramatisasi demokrasi? Saya
kira tidak. Menyemangati demokrasi dan sekaligus menegaskan kebencian atau
kerapuhan orang lain yang dilakukan sambil berbisik terhadap demokrasi itu
lebih merupakan penghormatan dengan cara elegan.
CIRI-CIRI PAHAM NASIONALISME
1. Adanya
kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
2. Adanya
nilai moral,etika dan budaya yang kental.
3. Sistem
pelaksanaan paham memiliki ciri khas dari kelompok tersebut
4. Kebenaran politik dari penyertaan aktif
rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik"
5.
Pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat dan mengutamakan negara
Pendapat kelompok kami tentang Nasional demokrasi
Belakangan ini masyarakat Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap
para pemimpin nasional. Pertikaian yang terjadi di eksekutif,legislatif,dan
yudikatif secara implisit memaksa rakyat untuk menyesal karena ikut andil dalam
mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan. Aplikasi sistem
demokrasi yang karutmarut dianggap tak mampu menyejahterakan rakyat. Krisis
kepercayaan ini seakan mencapai klimaks pada wacana beberapa LSM yang ingin
menuntut Ketua DPR Marzuki Alie atas sikapnya yang dianggap tidak aspiratif.
Sikap apriori rakyat cenderung meningkat. Sebagian rakyat bahkan menganggap ada
tidaknya wakil-wakil di Senayan itu tidak akan berpengaruh pada kehidupan
rakyat
Lantas, di mana letak kesalahan pada sistem
demokrasi yang dianut ini? Jika ingin adil,tak dapat masalah ini hanya dilihat
pada pucukpucuknya. Layaknya aliran sungai, kancah politik nasional itu
hanyalah sebuah muara. Tiap debit air yang terkumpul di sana berasal dari mata
air di mana etika berpolitik dipelajari dan dipraktikkan. Dalam hal ini,kampus
atau perguruan tinggi menjadi mata air pembentukan karakter politik nasional. Di
sana mahasiswa, sebagai generasi penerus, dilatih untuk hidup bernegara meski
dalam skala yang lebih kecil. Pada lingkup kemahasiswaan dibentuk
lembaga-lembaga yang mengindikasikan unsur-unsur dalam trias politika yakni
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apa pun yang terjadi di dalam kampus
tentu akan menjadi cerminan masa depan perpolitikan dan demokrasi suatu negara.
Keadaan ini terlihat pada kecenderungan elite politik nasional yang dianggap
tak memperjuangkan kepentingan rakyat di Parlemen, melainkan hanya
kepentinganpartaidankelompok.
Terima kasih ya, sangat membantu
BalasHapus