Sabtu, 08 Februari 2014

PARTAI TIDAK PERLU IDEOLOGI

PARTAI TIDAK PERLU IDEOLOGI
ABSTRAK
Ideologi pertama kali muncul pada abad ke-17 yang dikemukakan oleh Antoine Destutt de Tracy. Ideologi pada awalmulanya bertujuan untuk mengkritik ide-ide ataupun keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional yang lalu berkembang seiring waktu, dimana ideologi sempat digunakan oleh kaum minoritas atau penguasa untuk memperoleh kekuasaan atau mengendalikan kekuasaan itu. Hingga dewasa ini ideologi di artikan sebagai pandangan hidup, yang berisikan nilai-nilai dan berorientasi pada tindakan seseorang atau individu. Ideologi juga dijadikan sebagai suatu sumber pembentuk identitas bersama layaknya agama.
Karena itu, ideologi digunakan pada suatu bangsa dan Negara sebagai alat pemersatu. Selain itu ideologi juga digunakan atau masuk pada kancah partai politik juga sebagai pembentuk identitas bersama dan sebagai satu pandangan ataupun menjadi otak dalam sebuah partai. Tapi dewasa ini peran ideologi sudah mulai luntur karena mulai tidak sehatnya perpolitikan di Negara ini, milau dari praktik money politik, politik transaksional, dan pencitraan yang marak mengedepankan publikfigur, hal ini menyebabkan rakyat dan pelaku politik menjadi pragmatis dan para kader partaipun mulai lebih memikirkan pencapaian materi atau pemenuhan materi dari pada tugas mereka yang sebenarnya.
Ideologi juga memiliki peran yang sama dengan agama, yang berada di atas ideologi tingkatannya dimana mereka sama-sama menyajikan pandangan hidup dan nilai-nilai pada manusia. Sehingga, untuk apa ideologi jika memang ia menjual hal yang sama bahkan berada di bawah agama. Bukankah berarti orang yang telah beragama telah menduakan agamanya dengan menganut ideologi sebagai pandangan hidupnya? Padahal sudah jelas bahwa dalam agamanya juga terdapat pandangan hidup yang di berikan. Sehingga bisalah kita menganggap bahwa ideologi adalah sebuah agama tanpa adanya tuhan. Ataupun memang ideologi adalah sebuah alat guna melunturkan nilai-nilai keagamaan seperti tujuan awal di cetuskannya.
Kata kunci : ideologi, partai politik, pragmatis, money politik, politik transaksional, pencitraan.
***
Sejarah dan Perkembangan Ideologi
Secara historis, pengertian ideologi mengalami perubahan dari masa ke masa. Ideologi atau ideologie (dalam bahasa Perancis) pertama kali dikumandangkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), de Tracy yang hidup pada masa Revolusi Perancis melihat bahwa ketika revolusi berlangsung, banyak ide atau pemikiran telah menginspirasi ribuan orang untuk menguji kekuatan ide-ide tersebut dalam kancah pertarungan politik dan mereka mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang diyakini tersebut.
Ideologi, secara etimologis berasal dari kata idea (ide, gagasan) dan ology (logos, ilmu). Ideologi dalam pengertian de Tracy merupakan kritik terhadap ide-ide ataupun keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional
Upaya de Tracy mengalami kegagalan karena dalam realitas, ideologi tidak lagi menjadi keyakinan ilmiah tentang ide-ide melainkan sebaliknya, ide-ide itu menjadi idealisme revolusioner. Pada masa de Tracy telah terlihat bahwa pengertian ideologi telah merosot dari ilmu tentang ide-ide menjadi ide-ide doktriner dan melekat dengan kekuasan.
Selanjutnya, perubahan pengertian ideologi dari suatu ilmu tentang ide menjadi term yang bercorak politis lahir seiring dengan tampilnya tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The German Ideology (1846).
Pandangan Marx tentang ideologi tersebut merupakan implikasi dari pandangannya tentang masyarakat. Marx membagi kehidupan masyarakat ke dalam dua bidang, yaitu bidang basis dan bangunan atas. Basis merupakan bidang produksi kehidupan material yang terdiri dari tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produksi. Kedua unsur tersebut akan membentuk struktur organisasi sosial produksi yang nantinya menciptakan hubungan-hubungan produksi yang selalu berupa hubungan-hubungan kelas, seperti hubungan antara kelas pemilik modal dengan kelas pekerja. Pada akhirnya, hubungan antar kelas tersebut melahirkan pertentangan kelas, yaitu antara kelas atas (pemilik modal) dengan kelas bawah (pekerja).
Sedangkan bangunan atas atau suprastruktur terdiri dari a) segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama namun di luar bidang produksi material, seperti : sistem pendidikan, sistem hukum, sistem kesehatan dan negara serta b) semua sistem keyakinan, norma, nilai, makna, termasuk di dalamnya adalah pandangan dunia, agama, filsafat, nilai-nilai budaya dan seni (Magnis-Suseno, 2001: 143-145).
Adapun hubungan antara kedua bidang tersebut adalah sebagai berikut : bagian basis, yang terdiri dari hubungan-hubungan produksi selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya adalah struktur kekuasan ekonomi. Kekuasaan ekonomi yang dipegang oleh pemilik modal menentukan bagunan atas, seperti kekuasaan politik dan ideologi. Dari analisis ini jelaslah bahwa ideologi ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berada di bagian basis. Oleh sebab itu, ideologi bukanlah sekumpulan ide-ide yang berpijak pada realitas empiris (atau berangkat dari kenyataan) melainkan merupakan rekayasa mental karena ia diciptakan oleh kekuatan-kekuatan yang membentuknya di bagian basis, kekuatan tersebut memerlukan ideologi untuk mempertahankan posisi dan kekuatannya, dengan demikian ideologi bersifat fungsional.
 Analisis Marx tentang ideologi akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa ideologi – dalam masyarakat kapitalis yang terpolarisasi antara kelas kapitalis (pemilik modal) dan kelas pekerja – tidaklah berbicara tentang keberadaan atau kenyataan empiris tapi berbicara tentang kemanfaatan, kepentingan dan pamrih. Ideologi merupakan ilusi, pandangan yang menyesatkan tentang dunia, dan kepalsuan (Engels menyebutnya sebagai kesadaran palsu). Disebut sebagai ilusi dan kepalsuan karena ideologi merefleksikan kepentingan kelas penguasa dan kelas ini sendiri tidak pernah mengakui diri sebagai kelas penindas. Berkat ideologi, maka kaum kapitalis dapat menyembunyikan kontradiksi dalam masyarakat hingga kaum proletar (pekerja) yang tereksploitasi tidak menyadarinya, bahkan mendukung sistem kekuasaan yang ada, sebagai contoh adalah adanya ide-ide tentang hak milik dalam liberalisme. Ide ini diusung sebagai ide universal namun dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir orang (Heywood, 1998: 7).
Yang menarik dari pandangan Marx adalah bahwa ia tak pernah menyebut ide-ide pemikirannya sebagai ideologi melainkan sebagai sosialisme ilmiah, baru para pengikutnya (kelompok Marxis) menyebut pemikiran-pemikiran Marx sebagai ideologi.
Para pengikut Marx seperti Lenin dan Antonio Gramsci menunjukan minat yang lebih besar lagi dalam kajian tentang ideologi dan hasil kajian mereka tentunya berpengaruh pula terhadap perkembangan pengertian ideologi.
Dalam pandangan Lenin – seorang pemimpin Revolusi Sosialis Rusia – ideologi merupakan ide-ide yang berasal dari kelas sosial tertentu yang berfungsi untuk mendukung kepentingan-kepentingan kelas tersebut. Dengan kerangka berfikir ini maka baik kaum borjuis maupun proletar memiliki ideologi masing-masing.1 Dalam buku yang ditulis pada tahun 1902, What is to be done?, Lenin menunjukan bahwa ideologi sosialis merupakan teori revolusioner yang digunakan untuk mendukung aksi revolusioner. Sebagai suatu teori, ideologi sosialis merupakan hasil pemikiran teoritis yang merefleksikan kepentingan kelas yang sesungguhnya. Di sini terlihat Lenin mencampuradukan antara pengertian ideologi sebagai ilmu pengetahuan dengan ide-ide yang melayani kepentingan kelas, dan akibatnya, Lenin telah mereduksi pengertian ideologi ke dalam arti peyoratif atau negatif 2(pengertian peyoratif sendiri telah dirintis oleh Marx).
Bandingkan dengan Marx yang menyatakan bahwa kaum proletar merupakan satu-satunya kelas yang tidak membutuhkan ilusi dalam ideologi karena tujuan kelas ini adalah masyarakat tanpa kelas sehingga ideologi tidak akan dibutuhkan lagi dan Marx juga tidak pernah menyebut sosialismenya sebagai ideologi. Raymond Geuss (dalam Eagleton, 1991: 43) memilah definisi ideologi menjadi tiga jenis yakni a) deskriptif atau dalam arti antropologis, b) definisi peyoratif atau negatif, definisi model ini menghasilkan pengertian ideologi sebagai ide-ide yang melegitimasi kekuasan, suatu ilusi atau kepalsuan dan c) definisi positif.
Setelah Lenin, seorang Marxis lain yang juga mengembangkan pengertian ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik tolak kajiannya adalah adanya hegemoni kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis. Dalam pemikirannya, sistem kapitalis dapat berdiri kukuh karena ditopang oleh ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan politik, serta oleh hegemoni ide-ide dan teori-teori borjuis. Yang dimaksud dengan hegemoni di sini adalah suatu dominasi, sedang hegemoni ideologis mengacu pada kapasitas ide-ide borjuis untuk menggeser ide atau pemikiran lawan hingga akhirnya ide-ide borjuis diterima oleh akal sehat pada jamannya – Dikatakan dapat diterima oleh akal sehat karena ideologi tersebut menyebar serta hidup di tiap lapisan masyarakat seperti dalam karya-karya sastra, sistem pendidikan dan media massa, selain itu ideologi borjuis juga digunakan dalam bahasa sehari-hari serta disebarkan melalui budaya-budaya populer.
Hegemoni borjuis, menurut Gramsci hanya dapat ditentang di tingkat intelektual dan politik melalui penciptaan hegemoni proletariat yang berbasis pada teori, nilai dan prinsip-prinsip sosialis.
Marx maupun kaum Marxis memiliki pengaruh besar dalam mengembangkan pengertian ideologi. Namun demikian, di luar kelompok ini, Karl Mannheim (1893-1947) – seorang sosiolog Jerman – mengkonstruksi konsep ideologi yang berbeda dari tradisi Marxis. Ia menolak pendapat Marxis yang menekankan ideologi dari sisi peyoratif atau negatif, walau disisi lain ia sepakat dengan pendapat Marx yang mengatakan bahwa ide-ide ditentukan oleh lingkungan sosial yang membentuknya.
Dalam buku Ideology and Utopia (1924), Mannheim mendefinisikan ideologi sebagai sistem pemikiran yang menjadi dasar tatanan sosial. Di samping itu, ideologi juga mengekspresikan kepentingan-kepentingan kelompok penguasa atau kelompok yang dominan di masyarakat.
Selanjutnya, Mannheim memilah ideologi menjadi dua jenis yakni ideologi partikular dan ideologi total. Ideologi partikular merupakan ide-ide individu atau kelompok tertentu, sedangkan ideologi total mengacu pada weltanschauung atau world view (pandangan hidup) yang diyakini oleh suatu kelas sosial, masyarakat luas dan bahkan berlaku pada suatu periode jaman tertentu. Mannheim mengklasifikasikan kapitalisme liberal dan Marxisme ke dalam tipe total ini.
Menginjak tahun 1960-an hingga kini, kajian tentang ideologi bergeser ke arah analisis ideologi dari perspektif sosial dan politik dan hasilnya adalah pengertian-pengertian ideologi yang netral dan obyektif, sebagai contoh adalah definisi Martin Seliger yang menyebutkan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide-ide, di mana (melalui ide-ide tersebut) seseorang mampu menjelaskan dan menjustifikasi tujuan serta tindakan sosial yang terorganisir, atau dengan kata lain, ideologi merupakan sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan (Heywood, 1998: 8-11).
Dari uraian pengertian ideologi di atas terlihat bahwa arti ideologi berkembang dari masa ke masa. Pada awalnya, ideologi diartikan sebagai ilmu tentang ide (Destutt de Tracy) kemudian berkembang ke arah pengertian yang bercorak peyoratif dan negatif (Marx dan Marxis), di mana ideologi dipahami sebagai bentuk ilusi, kekuasaan, kesadaran palsu dan hegemoni. Berikutnya, seorang non-Marxis, Karl Mannheim menyumbangkan pemikirannya dengan mengemukaan pengertian baru yakni ideologi sebagai pandangan hidup, weltanschauung atau world view. Terakhir, sejak tahun 1960-an, minat terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis sosial-politik sehingga melahirkan definisi-definisi yang netral, antara lain pengertian bahwa ideologi merupakan seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan.
Ideologi dalam arti yang netral tentu saja memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan ideologi dari sudut baik atau buruk, benar atau salah, menindas atau membebaskan, terbuka atau tertutup. Ideologi dalam arti yang netral juga sulit dikritisi, karena ke”netral”annya, ideologi dapat diartikan bermacam-macam seperti sebagai pandangan hidup, doktrin (ajaran) atau sebagai filsafat politik.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam kajian ideologi yang dibangun sejak tahun 1960-an, harus diakui bahwa kajian ini mampu menghasilkan pengertian-pengertian ideologi yang bercorak deskriptif, di mana ideologi dipandang sebagai obyek studi dan riset sehingga nantinya ideologi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk pemikiran politik. Menurut Hardiman (dalam Eatwell dan Wright (ed), 2001: ix), bila ideologi dipahami secara peyoratif semata maka yang tampil adalah suatu sikap antipati, alergi atau meremehkan ideologi.
Setelah mengemukakan berbagai pengertian ideologi, kini sampailah pada posisi yang harus diambil dalam buku ajar ini. Penulis buku ajar mengadopsi definisi ideologi yang dikembangkan sejak tahun 1960-an, yaitu dari Andrew Heywood (1998). Definisi Heywood digunakan sebagai kerangka kerja untuk memahami pengertian ideologi dan untuk menjelaskan peran ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun dasar pertimbangan pemilihan ini adalah karena pengertian ideologi yang dirumuskan Heywood banyak membantu menjelaskan gejala ideologi yang kompleks.
Heywood (1998: 12) mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang terorganisir. Dari pengertian singkat ini, Heywood lantas mengembangkan tiga ciri ideologi yakni :
a) sebagai world view (pandangan hidup) masyarakat,
 b) sebagai model, visi, cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan dan
c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya dilakukan.
Dari rumusan definisi serta ciri-ciri ideologi, Heywood kemudian mengkasifikasikan gejala ideologi ke dalam dua bentuk. Pada bentuk pertama, ideologi dapat dilihat sebagai bentuk pemikiran deskriptif dan normatif, di mana keduanya menghasilkan sintesis antara pemahaman dan komitmen.
Sebagai sintesis (gabungan) antara pemahaman dan komitmen, ideologi di satu sisi berisi pengetahuan deskriptif, yaitu berupa peta intelektual tentang masyarakat dan pandangan umum terhadap realitas. Melalui peta atau pandangan tersebut, seseorang atau kelompok masyarakat mampu menempatkan diri dalam suatu lingkungan sosial. Di sinilah letak kapasitas ideologi sebagai pemersatu atau pengintegrasi individu-individu atau kelompok-kelompok.
Di sisi lain, ketika individu atau kelompok telah memiliki pemahaman deskriptif yang sama, mereka akan memiliki keyakinan normatif atau preskriptif pula yaitu berupa suatu komitmen tentang tatanan masyarakat di masa kini maupun mendatang. Dengan adanya corak normatif, maka ideologi menjadi sistem keyakinan yang memiliki kekuatan dan mendorong sikap emosional karena dapat menjadi alat untuk menyuarakan harapan, ketakutan, simpati dan kebencian.
Sintesis antara pemahaman dan komitmen pada dasarnya meleburkan gejala ideologi sebagai fakta dan nilai, atau antara ciri (a) ideologi sebagai pandangan hidup dan (b) ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik. Adanya peleburan ini menyebabkan batas antara ideologi dengan ilmu pengetahuan menjadi kabur, akibatnya, ideologi dapat digunakan sebagai paradigma4 , yaitu sebagai seperangkat prinsip, doktrin, dan teori yang dapat mendorong proses penelitian intelektual.
 Lihat deskripsi Heywood tentang ciri-ciri ideology.  Banyak definisi yang dapat diajukan untuk memahami paradigma, Guba (1990:18) mendefinisikan sebagai sistem-sistem keyakinan yang menjadi titik tolak untuk menentukan apa penelitian itu serta bagaimana pelaksanaannya. Masterman (dalam Lakatos dan Musgrave, 1989: 66) mengatakan bahwa paradigma adalah seperangkat kebiasaan-kebiasaan ilmiah. Suatu pemecahan masalah akan dihasilkan bila kebiasaan tersebut ditaati. Thomas Kuhn, filsuf yang memperkenalkan term paradigma, mendefinisikannya lebih ke aspek sosiologis, dan bercorak prateori. Ia mendeskripsikan paradigma sebagai suatu capaian ilmiah, suatu “wilayah” yang menuntut komitmen profesional. Namun yang menarik dari pendapat Kuhn adalah bahwa kedudukan paradigma telah ada sebelum pembentukan teori, sudut pandang ataupun hukum. Ia menggunakan term paradigma ketimbang teori untuk mendenotasikan apa yang ditolak dan digantikan dalam revolusi ilmu pengetahuan (Lakatos dan Musgrave, 1989 : 2). Sedangkan ilmuwan lain menggunakan term teori. 
Pada bentuk kedua, ideologi dapat dilihat sebagai teori politik dan tindakan politik. Keduanya akan menghasilkan sistesis antara pemikiran dan tindakan seperti tercermin pada ciri (b), ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik dan (c) ideologi sebagai pedoman perubahan politik yang diinginkan. Seliger (dalam Heywood, 1998: 13) mengkaji secara lebih mendalam tentang hal ini dengan memilah ideologi ke dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat fundamental, pada tingkat ini, ideologi mirip dengan filsafat politik karena di dalamnya berbicara tentang teori-teori dan ide-ide abstrak. Sedang pada tingkat kedua adalah tingkat operatif, pada tingkat ini, ideologi berbentuk gerakan-gerakan politik seperti mobilisasi massa dan perjuangan untuk merebut kekuasaan. Dalam bentuk operatif, ideologi dapat dikenali dengan mudah dalam slogan-slogan, retorika politik, manifesto partai ataupun dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.[1]
Sedangkan pengertian ideologi politik senidri Menurut Lane (1962)  ideologi politik dicirikan oleh: pertama ideologi politik berkaitan dengan  pertanyaan siapa yang akan memimpin ? bagaimana mereka dipilih ? dan dengan prinsip-prinsip apa mereka memimpin ? kedua, ideologi mengandung banyak sekali argumen untuk persuasi atau juga melawan (counter) ideologi yang berlawanan, ketiga ideologi sangat memengaruhi banyak sekali aspek kehidupan manusia, mulai aspek ekonomi, pendidikan kesejahteraan, kesehatan dan sebagainya. Keempat ideologi sangat berkait hal-hal yang penting dalam kehidupan sosial, baik mengajukan program ataupun menentangmya. Kelima ideologi mencoba merasionalisasikan kepentingan kelompok sehingga kepentingan tersebut beralasan dan layak diperjuangkan. Keenam, ideologi bersikan hal-hal yang bersifat normatif, etis, dan moral.[2]
Ideologi Dalam Berbangsa dan Bernegara
Salah satu ciri yang menandai suatu bangsa adalah kemajemukan yang dapat berupa kemajemukan budaya seperti ras, suku bangsa, agama, bahasa maupun, kemajemukan sosial seperti perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh pekerjaan, pendidikan, status ekonomi dan kekuasaan yang dimiliki.
Kejemukan itu tentu saja menimbulkan permasalahan sehubungan dengan penciptaan identitas bersama, yang merupakan hal mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Permasalahan identitas bersama ini akan semakin jelas dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: bagaimana individu mendefinisikan diri sebagai warga negara? bagaimana individu terhubung dengan negara? apakah nilai-nilai etnis dan agama mampu memberikan solidaritas sebangsa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan wajar karena kelompok-kelompok masyarakat memiliki sistem nilai tersendiri yang digunakan untuk mengejar kepentingan kelompok masing-masing. Mengingat beragamnya sistem nilai yang dimiliki kelompok masyarakat dan tak jarang pula satu sama lain saling bertentangan, maka dalam kehidupan, berbangsa dan bernegara memerlukan alat pemersatu sekaligus suatu identitas bersama sebagai landasan untuk menyusun tatanan masyarakat.
 Ideologi dikatakan mirip namun tidak identik dengan filsafat politik kerena dalam ideologi tidak dijumpai konsistensi dan koherensi internal sebagaimana layaknya dalam filsafat politik. Dalam pengertian Andrain, nilai sakral adalah nilai yang bertumpu pada keyakinan-keyakinan sakral yaitu suatu komitmen pada tujuan akhir yang berada di luar realitas empiris. Konsep ini oleh Andrain juga digunakan untuk merujuk pada sistem politik modern yang mengklaim diri bercorak sekular (memisahkan kehidupan politik dari kehidupan agama). Namun demikian, dalam sistem modern tersebut, nilai-nilai seperti profit (dalam kapitalisme), sosialisme-Marx, dan rasionalisme dihayati sebagaimana halnya agama serta diyakini sebagai sumber kebenaran. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai acuan untuk menetapkan masyarakat yang ideal serta menuntut kesetiaan masyarakat.
Dalam kajian yang dilakukan Charles F. Andrain (1992, 82-84) ditemukan empat tipe nilai yang merupakan sumber pembentuk identitas bersama, keempat nilai tersebut adalah
1.   Nilai primordial yaitu nilai-nilai yang bersumber pada nilai-nilai yang dihayati oleh kelompok-kelompok etnis ;
2.   Nilai sakral yang berasal dari nilai-nilai agama dan ideologi;
3.   Nilai personal, nilai ini akan muncul seiring dengan tampilnya pemimpin-pemimpin karismatik, yang mampu mempersatukan bangsa;
4.  Nilai-nilai sipil, nilai ini tidak hanya mengacu pada sikap hormat dan kesantunan dalam hidup berpolitik tetapi juga mengarah ada penciptaan sistem politik yang mampu mengembangkan loyalitas warga negara terhadap sistem politik, sementara ikatan warga terhadap kelompok-kelompok budayanya tetap dipertahankan. Adapun nilai-nilai sipil yang dipandang penting adalah nilai-nilai yang mengacu pada tertib hukum, kesejahteraan umum dan disertai dengan pengembangan sistem politik yang berlandaskan pada kekuasaan yang dimiliki bersama.
Dari keempat tipe nilai, ideologi merupakan bagian dari tipe nilai sakral yang seperti telah diungkapkan, merupakan salah satu sumber pembentuk identitas bersama. Ideologi merupakan salah satu tipe nilai yang mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Alfian: 1986). Dengan demikian, melalui ideologi yang dihayati, suatu masyarakat atau bangsa mengetahui ke arah mana kehidupan bersama hendak dituju.
Di samping memberikan arah dan tujuan dalam hidup berbangsa dan bernegara, ideologi juga memiliki fungsi lain yang tak kalah pentingnya. Fungsi yang perlu ditekankan di sini terkait dengan identitas bangsa karena ideologi memiliki kecenderungan untuk memisahkan ingroup (kita) dari outgroup (mereka atau bangsa lain). Oleh karena itu ideologi berfungsi untuk mempersatukan (Sastrapratedja, 1993; 143).
Dari definisi-definisi yang dirumuskan sebelumnya oleh Heywood, diperkuat oleh Andrain, Alfian maupun Sastrapratedja, menunjukan bahwa suatu ideologi (dalam hal ini ideologi nasional) merupakan salah satu sumber identitas bangsa yang mempersatukan seluruh unsur atau kelompok masyarakat serta menjadi cita-cita bersama yang ingin dicapai suatu bangsa. Dapat dicontohkan di sini adalah Pancasila. Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, Pancasila telah diakui sebagai ideologi yang membentuk identitas bangsa sekaligus menjadi acuan untuk membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesadaran bahwa Pancasila yang didalamnya terkandung nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah dan keadilan sosial, merupakan nilai-nilai yang dipandang baik, oleh karenanya menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia untuk mengejarnya (Surbakti, 1983: 29).[3]
Ideologi dalam Perpolitikan Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara dengan tingkat kemajemukan tinggi, beragam ideologi ada dan turut meramaikan memikat hati masyarakat Indonesia sejak era-modern, Hindia Belanda. Politik dengan partai politiknya mulai ada sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Meski masih dalam bentuk sebuah organisasi massa, namun perlu dicatat ini menjadi embrio perpolitikan di Indonesia ke depannya. Embrio itu tumbuh menjadi janin partai politik pra-kemerdekaan Indonesia dengan tingkat perkembangan tinggi, seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan ideologi nasionalisnya, MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) dengan ideologi islamnya, PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan ideologi komunisnya, dll. Janin itu lahir saat diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Perpolitikan Indonesia tumbuh subur saat dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden no. X yang salah satu isinya mengisyaratkan dibukanya kran kebebasan membentuk partai politik. PKI memainkan perannya di era ini. Aroma ideologi begitu kental di era ini, mulai dari ekstrimis kanan hingga ekstrimis kiri. Ini terbukti ketika pemilu legislatif dan konstituante pada tahun 1955 dengan masuknya 4 besar partai politik pemenang membawa nafas yang berbeda, PNI, Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Nahdlatul Ulama, dan PKI.
Ideologi adalah otaknya partai politik, karena dari sana muncul gagasan-gagasan yang berkoresponden dengan ideologi yang dianut partai politik itu. Era pacsa-proklamasi kemerdekaan muncul berbagai partai politik dengan ideologi sebagai bahan jualan hingga era orde baru, Soeharto. Di eranya, Soeharto mengelompokkan partai-partai politik dengan ideologi yang hampir sama, PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dengan nasionalisnya, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dengan islamnya, dan Golkar (Golongan Karya) sebagai representasi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Masyarakat Indonesia memilih partai politiknya atas dasar ideologi, terlepas dari intrik politik di era ini. Ideologi menjadi daging segar untuk diperjualbelikan dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Setelah Orde barunya Soeharto beserta sistem yang diterapkannya usai. Kran reformasi dibuka dengan sistem yang jelas tampak berbeda, baik sistem politiknya maupun sistem sosial masyarakat Indonesia. Begitu luas dampak reformasi ini. Trauma akan era orde baru mengakibatkan kecenderungan masyarakat Indonesia dalam memilih partai politik menjadi berbeda, yang berdampak pula pada bergesernya ideologi sebagai bahan jualan partai politik. Partai politik pun mulai merubah pola jualan mereka. Akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan integritas menjadi harga yang lebih mahal ketimbang berjualan ideologi. PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang terlihat kokoh dengan ideologinya sebagai pewaris perjuangan terdahulunya, PNI harus menomorsekiankan sisi ideologi dalam prosesi jual-belinya. Layaknya PDI-P, partai politik lainnya pun mulai berlomba-lomba menjaga dan menumbuhkan sisi positif dari kacamata masyarakat Indonesia dengan mengangkat visi, misi, program kerja, kader yang baik, SOP, dan dibalut ideologi. Hal ini terbukti dengan hasil pemilu legislatif pada tahun 2009 dimana Partai Demokrat memenangkan pesta demokrasi tersebut dengan sedikit membawa nafas ideologi. Golkar, PDI-P, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menempati posisi dibelakang Partai Demokrat.[4]
Dari sini, kita sudah mulai bisa melihat bagaimana ideologi mulai terabaikan dan masyarakat sudah tidak memperdulikan apa ideologi suatu partai. Bahkan visi misi yang di usungpun kurang diperhatikan atau kurang menarik bagi para pemilih di negeri ini. Ini semua karena maraknya korupsi dan perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya yang di lakukan oleh kaum elit yang berada di pemerintahan yang membuat rakyat semakin tidak percaya pada kaum minoritas dan tidak terlalu peduli pada siapa kelak pemimpin mereka, karena di anggap sama saja. Hal itu membentuk masyarakat menjadi masyarakat yang pragmatis, sehingga para pelaku politikpun dibuat mengasah strategi kembali untuk memenangkan pemilu. Seperti kita ketahui, Negara kita menerapkan sistem demokrasi dengan sistem pemilu untuk memilih pemimpin pemerintaha, baik pusat maupun daerah, dan dengan sistem itu, maka suara terbanyaklah yang berhak menang dan merebut kursi kekuasaan. Sehingga, partai politik mulai harus berlogika jumlah di tengah-tengah masyarakat yang pragmatis.
Karena itu, tentu timbul pertanyaan bagaimana cara agar meraih suara masyarakat dari kalangan bawah atau awam dan bagaimana cara meraih suara dari masyarakat kalangan atas atau para intelek ?. maka bila yang kita incar adalah mayarakat awam, tentu cara termudah untuk memanen suara adalah dengan member sesuatu, lalu sesuatu itu apa ?tentu saja sesuatu yang mudah diterima oleh masyarakat, seperti; sembako, baju, ataupun pencitraan yang baik dan bersih, biasanya berupa sosok da’I, ataupun artis yang telah memperoleh popularitas di dalam masyarakat. Ada pula sesuatu yang sangat marak, merupakan cara lama dan mungkin berlaku sepanjang masa, cara yang mungkin ampuh dan akan diterima oleh kebanyakan orang, yaitu dengan uang. Cara lama yang akan berlaku sepanjang masa saya kira.
Memang ideologi berperan pada awal-awal perjuangan perpolitikan dengan memberikan warna-warna pada partai-partai di Indonesia sebagai batu pijakan menuju terbentuknya pemerintahan Indonesia yang baik dan sistematis. Tapi itu dulu, saat 3 partai besar Indonesia (PNI), (MIAI),(PKI) masi berdiri di bumi ini, nasionalis, islam, dan komunis. Tiga ideologi itulah yang dulu marak di negeri kita ini. Saat ideologi masih dianggap sebagai daging segar bagi rakyat kita, tidak untuk sekarang dimana ideologi sangat kurang mendapat sorotan dari masyarakat. Mungkin juga dulu mereka gandrung akan ideologi-ideologi itu karena itu merupakan hal baru dan merupakan bentuk atau wujud dari kebebasan mereka dari penjajah, mungkin sama hal-nya dengan demokrasi saat ini, dimana pada awal munculnya di puja layaknya sebuah jalan pintas menuju kesejahteraan, tetapi saat ini mulai dirasakan anomali-anomali yang disebabkan olehnya sehingga ada beberapa argument yang keluar dari mulut rakyat bahwa masa orde lama atau kediktatoran lebih baik dari pada masa ini,masa demokrasi. Mungkin rakyat kita lah yang salah, yang selalu menerima dan main menerapkannya saja tanpa mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk hal yang akan kita terima dan dapatkan itu.
Selain itu, menurut seorang tokoh politik Indonesia, bahwa dalam partai politik tiadak lagi dijumpai peran ideologi pada setiap anggotanya, karena kebanyakan dari meruka sudah berorientasi pada materi bukan lagi pada ideologi. Mereka telah menjadikan politisi sebagai profesinya dan tempat bagi mereka meraup pundi-pundi uang. Sehingga mereka tidak terlalu memikirkan tentang ideologi tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan materinya. Sehingga dapat kita katakana bahwa dewasa ini kita sangat kurang dapat menemukan peran ideologi dalam suatu partai politik. Ia juga menegaskan yang ada pada partai politik dan kadernya bukanlah lagi ideologi, tetapi berupa azas-azas kehidupan.
Ssetelah kita mendapati betapa kurang berperannya ideologi pada suatu partai politik, kita sekarang beranjak pada pembahasan, sebenarnya apa itu arti ideologi. Seperti yang telah dijelaskan di atas tadi, bahwa ideologi itu mengalami banyak transisi-transisi dan prubahan-prubahan dari waktu ke waktu. Dan ideologi secara umum adalah sebuah pandangan hidup dan seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan. Dan ciri-ciri ideologi menurut Heywood yakni
a) sebagai world view (pandangan hidup) masyarakat,
b) sebagai model, visi, cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan dan
c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya dilakukan
Dari arti dan ciri-ciri di atas saya akan coba mnyorotinya dari sisi, ideologi sebagai pandangan hidup, dengan ide-ide di dalamnya yang berorientasi pada tindakan. Dari sini kita dapat melihat jelas bahwa ideology di jadikan pandangan hidup dimana hal itu mempengaruhi perbuatan atau tindakan mereka. Lalu apa beda mereka dengan agama ? apa ideologi itu memang agama ? hanya saja tidak dianggap ?. bukankah agama merupakan pandangan hidup yang menuntun kita harus berbuat apa ? an ideologipun pandangan hidup yang dapat mengatur atau berdampak pada perbuatan atau tindakan kita, jadi apakah memang ideologi adalah agama yang tidak dianggap.
Bila kita melihat perkembangan dari pengertian-pengertian atau makna ideology tersebut maka kita dapat berasumsi bahwa pada awalnya ideology adalah sesuatu yang digunakan untuk menentang hal-hal yang dogmatic dan tidak rasional, yang didalamnya kits dpst memasukkan agama pada hal yang tidak rasional yang memang kebanyakan dari orang barat menganggap seperti itu, atau bahkan atheism pun marak berkembang di barat. Yang lalu pada perkembangan kita dapat mengatakan bahwa ideologi bertransformasi makna sesuai kepentingan-kepentingan sekelompok orang yang berkuasa pada saat itu. Sehingga disini kita dapat mengasumsikan bahwa ideology adalah suatu agama yang dibuat atau berasal dari manusia, karena berisi pandangan hidup, nilai-nilai dan berorientasi pada tindakan seseorang. Dari hal ini pula lah kita dapat mengajukan pertanyaan apakah berarti seseorang yang menganut sebuah ideologi itu berarti mereka telah mengkhianati agamanya, karena dalam agamanya telah ada pandangan hidup yang jelas tapi ia malah berpaling dan menggunakan ideologi sebagai pandangan hidupnya.
Dalam empat tipe nilai pembentuk identitas bersama di atas disebutkan salah satunya yaitu, nilai sakral. Nilai sakral itu sendiri adalah nilai yang berasal dari nilai-nilai agama dan ideology. Dan dalam buku karangan Alfian pun ia mengatakan bahwa ideologi merupakan bagian dari tipe nilai sakral yang seperti telah diungkapkan, merupakan salah satu sumber pembentuk identitas bersama. Ideologi merupakan salah satu tipe nilai yang mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di sini ia menyatakan atau memasukkan ideologi pada posisi yang sama dengan agama, bukankah ini mendukung pernyataan sebelumnya bahwa sebenarnya ideologi adalah sebuah agama ?
Sehingga ideologi bisa saya asumsikan layaknya agama, dimana mengajarkan pandangan hidup yang dimana hal itu berorientasi pada tindakan seseorang. Atau mungkin ideologi memang di hadirkan untuk menghilangkan unsure agama di kehidupan manusia. Dari berbagai sumber yang saya baca dikatakan bahwa agama berada di atas ideologi dengan membahas hubungan antara manusia dan tuhannya atau atas pembahasan adanya dunia lain setelah ini, dan sebagaian ideologipun ada yang mengatur tentang kewajiban beragama tersebut, seperti ideologi pancasila. Dan dari referensi tersebut saya pahami bahwa ideology memang tidak dapat dimasukkan pada ranah agama, karena memang ranah agama lebih kompleks dari ideologi. Tetapi saya berpendapat bahwa, ideology sebenarnya tidak diperlukan oleh para penganut agama yang hakekatnya telah ada pandangan dan nilai-nilai dalam agama mereka yang bisa mereka jadikan sebagai pandangan, dalam hal ini saya menyoroti agama Islam sebagai keyakinan saya, dimana dalam Islam telah ada panduan hal apa saja yang sebaiknya kita lakukan sebagai manusia. Memang di islam tidak diajarkan tentang sistem pemerintahan, tetapi di Islam di ajarkan tenang substansi-substansi apa yang harus ada dalam pemerintahan atau hidup bernegara.
Sehingga disini saya lebih menyoroti bahwa ideologi merupakan sarana untuk mengaburkan nilai agama, terbukti dewasa ini agama mulai terdegradasi oleh ideologi. Sehingga menurut saya tidaklah perlu suatu ideologi itu ada pada sistem kita ini, dimana kita merupakan Negara yang meyakini keTuhanan tersebut. 
Kesimpulan
Dari pemabahasan diatas dapat kita pahami bahwa ideology pertama kali dikemukakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada abad ke-17 dengan tujuan untuk mengkritisi dan menentang ide-ide ataupun keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatic ataupun tidak rasional, lalu pada berjalannya waktu ideologi itu bertransformasi makna, dimana ideologi sempat digunakan atau dimanfaatkan oleh para penguasa untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan, hingga paa akhirnya ideologi secara umum di artikan sebagai suatu pandangan hidup yang berisikan nilai-nilai yang berorientasi pada tindakan seseorang.
Ideologi juga di anggap sebagai sumber pembentuk identitas bersama, sehingga ideolog banyak diterapkan pada suatu Negara dan partai politik guna memunculkan sikap kesatuan karena identitas bersama tersebut dan agar memiliki satu pandangan akan apa yang akan diperjuangkan oleh suatu bangsa ataupun partai. Tetapi dewasa ini peranan ideologi mulai luntur akibat kondisi perpolitikan kita yang kurang baik yang menyebakan partisipan maupun pelaku politik menjadi pragmatis, sehingga menyebabkam para kader tidak lagi berorientasi pada ideologi dan kepentingan bersama melainkan lebih berorientsi pada individu dan pemenuhan kebutuhan materinya. Dalam partaipun tidak atau kurang kita dapat menemukan adanya ideologi, dan mungkin azas-azaslah yang menggantikan peran ideologi itu.
Ideologi dan agama sama-sama menyajikan pandangan hidup bagi manusia, hanya saja dalam agama juga dikenal dimensi lain dan adanya tuhan. Disini terdapat anomali saya rasa dimana, kenapa masih ada pandangan lain padahal dalam agama sudah terdapat suatu pandangan itu. Bukankah itu berarti yang beragama telah menduakan agama mereka. Dalam hal ini saya menarik asumsi, bahwa ideologi tidak perlu karena telah ad agama yang juga merupakan pandangan hidup  dan dengan adanya ideologi hanya akan mengaburkan nilai-nilai keagamaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Prastiwi , Juwita Rahayuning. 2013. BAB V IDEOLOGI. perkuliahan academic skill.
Wadjdi, Farid dan Shidiq al-Jawi, et. al. 2009. Ilusi Negara Demokrasi. Bogor : Al Azhar Press
Damang. 2013. Ideologi partai politik. Tersedia : http://www.negarahukum.com/hukum/ideologi-partai-politik.html di akses tanggal 08 juni 2013
Aristawan, Sofah Dwi. 2013. Tergesernya Ideologi Sebagai “Bahan Jualan” Partai Politik di Indonesia. Tersedia : http://www.dakwatuna.com di akses tanggal 08 juni 2013


[1] Juwita Rahayuning Prastiwi, 2013, BAB V IDEOLOGI, perkuliahan academic skill.
[3] Ibid, Juwita Rahayuning Prastiwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang..dan terimakasih.. :)