PARTAI
TIDAK PERLU IDEOLOGI
ABSTRAK
Ideologi pertama kali muncul pada
abad ke-17 yang dikemukakan oleh Antoine Destutt de Tracy. Ideologi pada
awalmulanya bertujuan untuk mengkritik ide-ide ataupun keyakinan-keyakinan yang
bercorak dogmatik dan tidak rasional yang lalu berkembang seiring waktu, dimana
ideologi sempat digunakan oleh kaum minoritas atau penguasa untuk memperoleh
kekuasaan atau mengendalikan kekuasaan itu. Hingga dewasa ini ideologi di
artikan sebagai pandangan hidup, yang berisikan nilai-nilai dan berorientasi
pada tindakan seseorang atau individu. Ideologi juga dijadikan sebagai suatu
sumber pembentuk identitas bersama layaknya agama.
Karena itu, ideologi digunakan
pada suatu bangsa dan Negara sebagai alat pemersatu. Selain itu ideologi juga
digunakan atau masuk pada kancah partai politik juga sebagai pembentuk
identitas bersama dan sebagai satu pandangan ataupun menjadi otak dalam sebuah
partai. Tapi dewasa ini peran ideologi sudah mulai luntur karena mulai tidak
sehatnya perpolitikan di Negara ini, milau dari praktik money politik, politik
transaksional, dan pencitraan yang marak mengedepankan publikfigur, hal ini
menyebabkan rakyat dan pelaku politik menjadi pragmatis dan para kader
partaipun mulai lebih memikirkan pencapaian materi atau pemenuhan materi dari
pada tugas mereka yang sebenarnya.
Ideologi juga memiliki peran yang
sama dengan agama, yang berada di atas ideologi tingkatannya dimana mereka
sama-sama menyajikan pandangan hidup dan nilai-nilai pada manusia. Sehingga,
untuk apa ideologi jika memang ia menjual hal yang sama bahkan berada di bawah
agama. Bukankah berarti orang yang telah beragama telah menduakan agamanya
dengan menganut ideologi sebagai pandangan hidupnya? Padahal sudah jelas bahwa
dalam agamanya juga terdapat pandangan hidup yang di berikan. Sehingga bisalah
kita menganggap bahwa ideologi adalah sebuah agama tanpa adanya tuhan. Ataupun
memang ideologi adalah sebuah alat guna melunturkan nilai-nilai keagamaan
seperti tujuan awal di cetuskannya.
Kata kunci : ideologi, partai
politik, pragmatis, money politik, politik transaksional, pencitraan.
***
Sejarah dan Perkembangan
Ideologi
Secara historis, pengertian
ideologi mengalami perubahan dari masa ke masa. Ideologi atau ideologie (dalam
bahasa Perancis) pertama kali dikumandangkan oleh Antoine Destutt de Tracy
(1754-1836), de Tracy yang hidup pada masa Revolusi Perancis melihat bahwa
ketika revolusi berlangsung, banyak ide atau pemikiran telah menginspirasi
ribuan orang untuk menguji kekuatan ide-ide tersebut dalam kancah pertarungan
politik dan mereka mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang diyakini tersebut.
Ideologi, secara etimologis
berasal dari kata idea (ide, gagasan) dan ology (logos, ilmu). Ideologi dalam
pengertian de Tracy merupakan kritik terhadap ide-ide ataupun
keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional
Upaya de Tracy mengalami
kegagalan karena dalam realitas, ideologi tidak lagi menjadi keyakinan ilmiah
tentang ide-ide melainkan sebaliknya, ide-ide itu menjadi idealisme
revolusioner. Pada masa de Tracy telah terlihat bahwa pengertian ideologi telah
merosot dari ilmu tentang ide-ide menjadi ide-ide doktriner dan melekat dengan
kekuasan.
Selanjutnya, perubahan pengertian
ideologi dari suatu ilmu tentang ide menjadi term yang bercorak politis lahir
seiring dengan tampilnya tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The
German Ideology (1846).
Pandangan Marx tentang ideologi
tersebut merupakan implikasi dari pandangannya tentang masyarakat. Marx membagi
kehidupan masyarakat ke dalam dua bidang, yaitu bidang basis dan bangunan atas.
Basis merupakan bidang produksi kehidupan material yang terdiri dari
tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produksi. Kedua unsur tersebut
akan membentuk struktur organisasi sosial produksi yang nantinya menciptakan
hubungan-hubungan produksi yang selalu berupa hubungan-hubungan kelas, seperti
hubungan antara kelas pemilik modal dengan kelas pekerja. Pada akhirnya,
hubungan antar kelas tersebut melahirkan pertentangan kelas, yaitu antara kelas
atas (pemilik modal) dengan kelas bawah (pekerja).
Sedangkan bangunan atas atau
suprastruktur terdiri dari a) segala macam lembaga yang mengatur kehidupan
bersama namun di luar bidang produksi material, seperti : sistem pendidikan,
sistem hukum, sistem kesehatan dan negara serta b) semua sistem keyakinan,
norma, nilai, makna, termasuk di dalamnya adalah pandangan dunia, agama,
filsafat, nilai-nilai budaya dan seni (Magnis-Suseno, 2001: 143-145).
Adapun hubungan antara kedua
bidang tersebut adalah sebagai berikut : bagian basis, yang terdiri dari
hubungan-hubungan produksi selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya
adalah struktur kekuasan ekonomi. Kekuasaan ekonomi yang dipegang oleh pemilik
modal menentukan bagunan atas, seperti kekuasaan politik dan ideologi. Dari
analisis ini jelaslah bahwa ideologi ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang
berada di bagian basis. Oleh sebab itu, ideologi bukanlah sekumpulan ide-ide
yang berpijak pada realitas empiris (atau berangkat dari kenyataan) melainkan
merupakan rekayasa mental karena ia diciptakan oleh kekuatan-kekuatan yang
membentuknya di bagian basis, kekuatan tersebut memerlukan ideologi untuk
mempertahankan posisi dan kekuatannya, dengan demikian ideologi bersifat
fungsional.
Analisis Marx tentang ideologi akhirnya sampai
pada satu kesimpulan bahwa ideologi – dalam masyarakat kapitalis yang
terpolarisasi antara kelas kapitalis (pemilik modal) dan kelas pekerja –
tidaklah berbicara tentang keberadaan atau kenyataan empiris tapi berbicara
tentang kemanfaatan, kepentingan dan pamrih. Ideologi merupakan ilusi,
pandangan yang menyesatkan tentang dunia, dan kepalsuan (Engels menyebutnya
sebagai kesadaran palsu). Disebut sebagai ilusi dan kepalsuan karena ideologi
merefleksikan kepentingan kelas penguasa dan kelas ini sendiri tidak pernah
mengakui diri sebagai kelas penindas. Berkat ideologi, maka kaum kapitalis
dapat menyembunyikan kontradiksi dalam masyarakat hingga kaum proletar
(pekerja) yang tereksploitasi tidak menyadarinya, bahkan mendukung sistem
kekuasaan yang ada, sebagai contoh adalah adanya ide-ide tentang hak milik
dalam liberalisme. Ide ini diusung sebagai ide universal namun dalam
kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir orang (Heywood, 1998: 7).
Yang menarik dari pandangan Marx
adalah bahwa ia tak pernah menyebut ide-ide pemikirannya sebagai ideologi
melainkan sebagai sosialisme ilmiah, baru para pengikutnya (kelompok Marxis)
menyebut pemikiran-pemikiran Marx sebagai ideologi.
Para pengikut Marx seperti Lenin
dan Antonio Gramsci menunjukan minat yang lebih besar lagi dalam kajian tentang
ideologi dan hasil kajian mereka tentunya berpengaruh pula terhadap
perkembangan pengertian ideologi.
Dalam pandangan Lenin – seorang
pemimpin Revolusi Sosialis Rusia – ideologi merupakan ide-ide yang berasal dari
kelas sosial tertentu yang berfungsi untuk mendukung kepentingan-kepentingan
kelas tersebut. Dengan kerangka berfikir ini maka baik kaum borjuis maupun
proletar memiliki ideologi masing-masing.1 Dalam buku yang ditulis pada tahun
1902, What is to be done?, Lenin menunjukan bahwa ideologi sosialis merupakan
teori revolusioner yang digunakan untuk mendukung aksi revolusioner. Sebagai
suatu teori, ideologi sosialis merupakan hasil pemikiran teoritis yang
merefleksikan kepentingan kelas yang sesungguhnya. Di sini terlihat Lenin
mencampuradukan antara pengertian ideologi sebagai ilmu pengetahuan dengan
ide-ide yang melayani kepentingan kelas, dan akibatnya, Lenin telah mereduksi
pengertian ideologi ke dalam arti peyoratif atau negatif 2(pengertian peyoratif
sendiri telah dirintis oleh Marx).
Bandingkan dengan Marx yang
menyatakan bahwa kaum proletar merupakan satu-satunya kelas yang tidak
membutuhkan ilusi dalam ideologi karena tujuan kelas ini adalah masyarakat
tanpa kelas sehingga ideologi tidak akan dibutuhkan lagi dan Marx juga tidak
pernah menyebut sosialismenya sebagai ideologi. Raymond Geuss (dalam Eagleton,
1991: 43) memilah definisi ideologi menjadi tiga jenis yakni a) deskriptif atau
dalam arti antropologis, b) definisi peyoratif atau negatif, definisi model ini
menghasilkan pengertian ideologi sebagai ide-ide yang melegitimasi kekuasan,
suatu ilusi atau kepalsuan dan c) definisi positif.
Setelah Lenin, seorang Marxis
lain yang juga mengembangkan pengertian ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik
tolak kajiannya adalah adanya hegemoni kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis.
Dalam pemikirannya, sistem kapitalis dapat berdiri kukuh karena ditopang oleh
ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan politik, serta oleh hegemoni ide-ide dan
teori-teori borjuis. Yang dimaksud dengan hegemoni di sini adalah suatu
dominasi, sedang hegemoni ideologis mengacu pada kapasitas ide-ide borjuis
untuk menggeser ide atau pemikiran lawan hingga akhirnya ide-ide borjuis
diterima oleh akal sehat pada jamannya – Dikatakan dapat diterima oleh akal
sehat karena ideologi tersebut menyebar serta hidup di tiap lapisan masyarakat
seperti dalam karya-karya sastra, sistem pendidikan dan media massa, selain itu
ideologi borjuis juga digunakan dalam bahasa sehari-hari serta disebarkan
melalui budaya-budaya populer.
Hegemoni borjuis, menurut Gramsci
hanya dapat ditentang di tingkat intelektual dan politik melalui penciptaan
hegemoni proletariat yang berbasis pada teori, nilai dan prinsip-prinsip
sosialis.
Marx maupun kaum Marxis memiliki
pengaruh besar dalam mengembangkan pengertian ideologi. Namun demikian, di luar
kelompok ini, Karl Mannheim (1893-1947) – seorang sosiolog Jerman –
mengkonstruksi konsep ideologi yang berbeda dari tradisi Marxis. Ia menolak
pendapat Marxis yang menekankan ideologi dari sisi peyoratif atau negatif,
walau disisi lain ia sepakat dengan pendapat Marx yang mengatakan bahwa ide-ide
ditentukan oleh lingkungan sosial yang membentuknya.
Dalam buku Ideology and Utopia
(1924), Mannheim mendefinisikan ideologi sebagai sistem pemikiran yang menjadi
dasar tatanan sosial. Di samping itu, ideologi juga mengekspresikan
kepentingan-kepentingan kelompok penguasa atau kelompok yang dominan di
masyarakat.
Selanjutnya, Mannheim memilah
ideologi menjadi dua jenis yakni ideologi partikular dan ideologi total.
Ideologi partikular merupakan ide-ide individu atau kelompok tertentu,
sedangkan ideologi total mengacu pada weltanschauung atau world view (pandangan
hidup) yang diyakini oleh suatu kelas sosial, masyarakat luas dan bahkan
berlaku pada suatu periode jaman tertentu. Mannheim mengklasifikasikan
kapitalisme liberal dan Marxisme ke dalam tipe total ini.
Menginjak tahun 1960-an hingga
kini, kajian tentang ideologi bergeser ke arah analisis ideologi dari
perspektif sosial dan politik dan hasilnya adalah pengertian-pengertian
ideologi yang netral dan obyektif, sebagai contoh adalah definisi Martin
Seliger yang menyebutkan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide-ide, di mana
(melalui ide-ide tersebut) seseorang mampu menjelaskan dan menjustifikasi
tujuan serta tindakan sosial yang terorganisir, atau dengan kata lain, ideologi
merupakan sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan (Heywood, 1998:
8-11).
Dari uraian pengertian ideologi
di atas terlihat bahwa arti ideologi berkembang dari masa ke masa. Pada
awalnya, ideologi diartikan sebagai ilmu tentang ide (Destutt de Tracy)
kemudian berkembang ke arah pengertian yang bercorak peyoratif dan negatif
(Marx dan Marxis), di mana ideologi dipahami sebagai bentuk ilusi, kekuasaan,
kesadaran palsu dan hegemoni. Berikutnya, seorang non-Marxis, Karl Mannheim
menyumbangkan pemikirannya dengan mengemukaan pengertian baru yakni ideologi
sebagai pandangan hidup, weltanschauung atau world view. Terakhir, sejak tahun
1960-an, minat terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis
sosial-politik sehingga melahirkan definisi-definisi yang netral, antara lain
pengertian bahwa ideologi merupakan seperangkat ide yang berorientasi pada
tindakan.
Ideologi dalam arti yang netral
tentu saja memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan ideologi dari sudut baik
atau buruk, benar atau salah, menindas atau membebaskan, terbuka atau tertutup.
Ideologi dalam arti yang netral juga sulit dikritisi, karena ke”netral”annya, ideologi
dapat diartikan bermacam-macam seperti sebagai pandangan hidup, doktrin
(ajaran) atau sebagai filsafat politik.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam kajian ideologi yang dibangun sejak tahun 1960-an, harus
diakui bahwa kajian ini mampu menghasilkan pengertian-pengertian ideologi yang
bercorak deskriptif, di mana ideologi dipandang sebagai obyek studi dan riset
sehingga nantinya ideologi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk pemikiran
politik. Menurut Hardiman (dalam Eatwell dan Wright (ed), 2001: ix), bila
ideologi dipahami secara peyoratif semata maka yang tampil adalah suatu sikap
antipati, alergi atau meremehkan ideologi.
Setelah mengemukakan berbagai
pengertian ideologi, kini sampailah pada posisi yang harus diambil dalam buku
ajar ini. Penulis buku ajar mengadopsi definisi ideologi yang dikembangkan
sejak tahun 1960-an, yaitu dari Andrew Heywood (1998). Definisi Heywood
digunakan sebagai kerangka kerja untuk memahami pengertian ideologi dan untuk
menjelaskan peran ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun
dasar pertimbangan pemilihan ini adalah karena pengertian ideologi yang
dirumuskan Heywood banyak membantu menjelaskan gejala ideologi yang kompleks.
Heywood (1998: 12) mendefinisikan
ideologi sebagai seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang
terorganisir. Dari pengertian singkat ini, Heywood lantas mengembangkan tiga
ciri ideologi yakni :
a) sebagai world view (pandangan
hidup) masyarakat,
b) sebagai model, visi, cita-cita tentang
tatanan masyarakat yang baik di masa depan dan
c) sebagai pedoman bagi
perubahan-perubahan politik yang seharusnya dilakukan.
Dari rumusan definisi serta
ciri-ciri ideologi, Heywood kemudian mengkasifikasikan gejala ideologi ke dalam
dua bentuk. Pada bentuk pertama, ideologi dapat dilihat sebagai bentuk
pemikiran deskriptif dan normatif, di mana keduanya menghasilkan sintesis
antara pemahaman dan komitmen.
Sebagai sintesis (gabungan)
antara pemahaman dan komitmen, ideologi di satu sisi berisi pengetahuan
deskriptif, yaitu berupa peta intelektual tentang masyarakat dan pandangan umum
terhadap realitas. Melalui peta atau pandangan tersebut, seseorang atau
kelompok masyarakat mampu menempatkan diri dalam suatu lingkungan sosial. Di
sinilah letak kapasitas ideologi sebagai pemersatu atau pengintegrasi
individu-individu atau kelompok-kelompok.
Di sisi lain, ketika individu
atau kelompok telah memiliki pemahaman deskriptif yang sama, mereka akan
memiliki keyakinan normatif atau preskriptif pula yaitu berupa suatu komitmen tentang
tatanan masyarakat di masa kini maupun mendatang. Dengan adanya corak normatif,
maka ideologi menjadi sistem keyakinan yang memiliki kekuatan dan mendorong
sikap emosional karena dapat menjadi alat untuk menyuarakan harapan, ketakutan,
simpati dan kebencian.
Sintesis antara pemahaman dan
komitmen pada dasarnya meleburkan gejala ideologi sebagai fakta dan nilai, atau
antara ciri (a) ideologi sebagai pandangan hidup dan (b) ideologi sebagai
cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik. Adanya peleburan ini
menyebabkan batas antara ideologi dengan ilmu pengetahuan menjadi kabur,
akibatnya, ideologi dapat digunakan sebagai paradigma4 , yaitu sebagai
seperangkat prinsip, doktrin, dan teori yang dapat mendorong proses penelitian
intelektual.
Lihat deskripsi Heywood tentang ciri-ciri
ideology. Banyak definisi yang dapat
diajukan untuk memahami paradigma, Guba (1990:18) mendefinisikan sebagai
sistem-sistem keyakinan yang menjadi titik tolak untuk menentukan apa
penelitian itu serta bagaimana pelaksanaannya. Masterman (dalam Lakatos dan
Musgrave, 1989: 66) mengatakan bahwa paradigma adalah seperangkat
kebiasaan-kebiasaan ilmiah. Suatu pemecahan masalah akan dihasilkan bila
kebiasaan tersebut ditaati. Thomas Kuhn, filsuf yang memperkenalkan term
paradigma, mendefinisikannya lebih ke aspek sosiologis, dan bercorak prateori.
Ia mendeskripsikan paradigma sebagai suatu capaian ilmiah, suatu “wilayah” yang
menuntut komitmen profesional. Namun yang menarik dari pendapat Kuhn adalah
bahwa kedudukan paradigma telah ada sebelum pembentukan teori, sudut pandang
ataupun hukum. Ia menggunakan term paradigma ketimbang teori untuk
mendenotasikan apa yang ditolak dan digantikan dalam revolusi ilmu pengetahuan
(Lakatos dan Musgrave, 1989 : 2). Sedangkan ilmuwan lain menggunakan term
teori.
Pada bentuk kedua, ideologi dapat
dilihat sebagai teori politik dan tindakan politik. Keduanya akan menghasilkan
sistesis antara pemikiran dan tindakan seperti tercermin pada ciri (b),
ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik dan (c)
ideologi sebagai pedoman perubahan politik yang diinginkan. Seliger (dalam
Heywood, 1998: 13) mengkaji secara lebih mendalam tentang hal ini dengan
memilah ideologi ke dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat
fundamental, pada tingkat ini, ideologi mirip dengan filsafat politik karena di
dalamnya berbicara tentang teori-teori dan ide-ide abstrak. Sedang pada tingkat
kedua adalah tingkat operatif, pada tingkat ini, ideologi berbentuk
gerakan-gerakan politik seperti mobilisasi massa dan perjuangan untuk merebut
kekuasaan. Dalam bentuk operatif, ideologi dapat dikenali dengan mudah dalam
slogan-slogan, retorika politik, manifesto partai ataupun dalam kebijakan-kebijakan
pemerintah.[1]
Sedangkan pengertian ideologi
politik senidri Menurut Lane (1962) ideologi politik dicirikan oleh: pertama
ideologi politik berkaitan dengan pertanyaan siapa yang akan memimpin ?
bagaimana mereka dipilih ? dan dengan prinsip-prinsip apa mereka memimpin ?
kedua, ideologi mengandung banyak sekali argumen untuk persuasi atau juga
melawan (counter) ideologi yang berlawanan, ketiga ideologi sangat
memengaruhi banyak sekali aspek kehidupan manusia, mulai aspek ekonomi,
pendidikan kesejahteraan, kesehatan dan sebagainya. Keempat ideologi sangat
berkait hal-hal yang penting dalam kehidupan sosial, baik mengajukan program
ataupun menentangmya. Kelima ideologi mencoba merasionalisasikan kepentingan
kelompok sehingga kepentingan tersebut beralasan dan layak diperjuangkan.
Keenam, ideologi bersikan hal-hal yang bersifat normatif, etis, dan moral.[2]
Ideologi
Dalam Berbangsa dan Bernegara
Salah satu ciri yang menandai
suatu bangsa adalah kemajemukan yang dapat berupa kemajemukan budaya seperti
ras, suku bangsa, agama, bahasa maupun, kemajemukan sosial seperti
perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh pekerjaan, pendidikan, status ekonomi
dan kekuasaan yang dimiliki.
Kejemukan itu tentu saja
menimbulkan permasalahan sehubungan dengan penciptaan identitas bersama, yang
merupakan hal mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Permasalahan
identitas bersama ini akan semakin jelas dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:
bagaimana individu mendefinisikan diri sebagai warga negara? bagaimana individu
terhubung dengan negara? apakah nilai-nilai etnis dan agama mampu memberikan
solidaritas sebangsa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan wajar
karena kelompok-kelompok masyarakat memiliki sistem nilai tersendiri yang
digunakan untuk mengejar kepentingan kelompok masing-masing. Mengingat
beragamnya sistem nilai yang dimiliki kelompok masyarakat dan tak jarang pula
satu sama lain saling bertentangan, maka dalam kehidupan, berbangsa dan
bernegara memerlukan alat pemersatu sekaligus suatu identitas bersama sebagai
landasan untuk menyusun tatanan masyarakat.
Ideologi dikatakan mirip namun tidak identik
dengan filsafat politik kerena dalam ideologi tidak dijumpai konsistensi dan
koherensi internal sebagaimana layaknya dalam filsafat politik. Dalam
pengertian Andrain, nilai sakral adalah nilai yang bertumpu pada
keyakinan-keyakinan sakral yaitu suatu komitmen pada tujuan akhir yang berada
di luar realitas empiris. Konsep ini oleh Andrain juga digunakan untuk merujuk
pada sistem politik modern yang mengklaim diri bercorak sekular (memisahkan
kehidupan politik dari kehidupan agama). Namun demikian, dalam sistem modern
tersebut, nilai-nilai seperti profit (dalam kapitalisme), sosialisme-Marx, dan
rasionalisme dihayati sebagaimana halnya agama serta diyakini sebagai sumber
kebenaran. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai acuan untuk menetapkan
masyarakat yang ideal serta menuntut kesetiaan masyarakat.
Dalam kajian yang dilakukan
Charles F. Andrain (1992, 82-84) ditemukan empat tipe nilai yang merupakan
sumber pembentuk identitas bersama, keempat nilai tersebut adalah
1.
Nilai primordial yaitu nilai-nilai yang
bersumber pada nilai-nilai yang dihayati oleh kelompok-kelompok etnis ;
2.
Nilai sakral yang berasal dari
nilai-nilai agama dan ideologi;
3.
Nilai personal, nilai ini akan muncul
seiring dengan tampilnya pemimpin-pemimpin karismatik, yang mampu mempersatukan
bangsa;
4. Nilai-nilai
sipil, nilai ini tidak hanya mengacu pada sikap hormat dan kesantunan dalam
hidup berpolitik tetapi juga mengarah ada penciptaan sistem politik yang mampu
mengembangkan loyalitas warga negara terhadap sistem politik, sementara ikatan
warga terhadap kelompok-kelompok budayanya tetap dipertahankan. Adapun
nilai-nilai sipil yang dipandang penting adalah nilai-nilai yang mengacu pada
tertib hukum, kesejahteraan umum dan disertai dengan pengembangan sistem
politik yang berlandaskan pada kekuasaan yang dimiliki bersama.
Dari keempat tipe nilai, ideologi
merupakan bagian dari tipe nilai sakral yang seperti telah diungkapkan,
merupakan salah satu sumber pembentuk identitas bersama. Ideologi merupakan
salah satu tipe nilai yang mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Alfian:
1986). Dengan demikian, melalui ideologi yang dihayati, suatu masyarakat atau
bangsa mengetahui ke arah mana kehidupan bersama hendak dituju.
Di samping memberikan arah dan
tujuan dalam hidup berbangsa dan bernegara, ideologi juga memiliki fungsi lain
yang tak kalah pentingnya. Fungsi yang perlu ditekankan di sini terkait dengan
identitas bangsa karena ideologi memiliki kecenderungan untuk memisahkan
ingroup (kita) dari outgroup (mereka atau bangsa lain). Oleh karena itu
ideologi berfungsi untuk mempersatukan (Sastrapratedja, 1993; 143).
Dari definisi-definisi yang
dirumuskan sebelumnya oleh Heywood, diperkuat oleh Andrain, Alfian maupun
Sastrapratedja, menunjukan bahwa suatu ideologi (dalam hal ini ideologi
nasional) merupakan salah satu sumber identitas bangsa yang mempersatukan
seluruh unsur atau kelompok masyarakat serta menjadi cita-cita bersama yang
ingin dicapai suatu bangsa. Dapat dicontohkan di sini adalah Pancasila. Dalam
perjalanan panjang bangsa Indonesia, Pancasila telah diakui sebagai ideologi
yang membentuk identitas bangsa sekaligus menjadi acuan untuk membangun tatanan
masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai ideologi
nasional merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat. Hal ini dapat
terjadi karena adanya kesadaran bahwa Pancasila yang didalamnya terkandung
nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan,
musyawarah dan keadilan sosial, merupakan nilai-nilai yang dipandang baik, oleh
karenanya menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia untuk mengejarnya
(Surbakti, 1983: 29).[3]
Ideologi
dalam Perpolitikan Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara
dengan tingkat kemajemukan tinggi, beragam ideologi ada dan turut meramaikan
memikat hati masyarakat Indonesia sejak era-modern, Hindia Belanda. Politik
dengan partai politiknya mulai ada sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tahun
1928. Meski masih dalam bentuk sebuah organisasi massa, namun perlu dicatat ini
menjadi embrio perpolitikan di Indonesia ke depannya. Embrio itu tumbuh menjadi
janin partai politik pra-kemerdekaan Indonesia dengan tingkat perkembangan
tinggi, seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan ideologi nasionalisnya,
MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) dengan ideologi islamnya, PKI (Partai
Komunis Indonesia) dengan ideologi komunisnya, dll. Janin itu lahir saat
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Perpolitikan Indonesia tumbuh subur
saat dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden no. X yang salah satu isinya
mengisyaratkan dibukanya kran kebebasan membentuk partai politik. PKI memainkan
perannya di era ini. Aroma ideologi begitu kental di era ini, mulai dari
ekstrimis kanan hingga ekstrimis kiri. Ini terbukti ketika pemilu legislatif
dan konstituante pada tahun 1955 dengan masuknya 4 besar partai politik
pemenang membawa nafas yang berbeda, PNI, Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia), Nahdlatul Ulama, dan PKI.
Ideologi adalah otaknya partai
politik, karena dari sana muncul gagasan-gagasan yang berkoresponden dengan
ideologi yang dianut partai politik itu. Era pacsa-proklamasi kemerdekaan
muncul berbagai partai politik dengan ideologi sebagai bahan jualan hingga era
orde baru, Soeharto. Di eranya, Soeharto mengelompokkan partai-partai politik
dengan ideologi yang hampir sama, PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dengan
nasionalisnya, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dengan islamnya, dan Golkar
(Golongan Karya) sebagai representasi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Masyarakat
Indonesia memilih partai politiknya atas dasar ideologi, terlepas dari intrik
politik di era ini. Ideologi menjadi daging segar untuk diperjualbelikan dalam
dunia perpolitikan di Indonesia.
Setelah Orde barunya Soeharto
beserta sistem yang diterapkannya usai. Kran reformasi dibuka dengan sistem
yang jelas tampak berbeda, baik sistem politiknya maupun sistem sosial
masyarakat Indonesia. Begitu luas dampak reformasi ini. Trauma akan era orde
baru mengakibatkan kecenderungan masyarakat Indonesia dalam memilih partai
politik menjadi berbeda, yang berdampak pula pada bergesernya ideologi sebagai
bahan jualan partai politik. Partai politik pun mulai merubah pola jualan
mereka. Akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan integritas menjadi harga
yang lebih mahal ketimbang berjualan ideologi. PDI-P (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan) yang terlihat kokoh dengan ideologinya sebagai pewaris
perjuangan terdahulunya, PNI harus menomorsekiankan sisi ideologi dalam prosesi
jual-belinya. Layaknya PDI-P, partai politik lainnya pun mulai berlomba-lomba
menjaga dan menumbuhkan sisi positif dari kacamata masyarakat Indonesia dengan
mengangkat visi, misi, program kerja, kader yang baik, SOP, dan dibalut
ideologi. Hal ini terbukti dengan hasil pemilu legislatif pada tahun 2009
dimana Partai Demokrat memenangkan pesta demokrasi tersebut dengan sedikit
membawa nafas ideologi. Golkar, PDI-P, PKS (Partai Keadilan Sejahtera)
menempati posisi dibelakang Partai Demokrat.[4]
Dari sini, kita sudah mulai bisa
melihat bagaimana ideologi mulai terabaikan dan masyarakat sudah tidak
memperdulikan apa ideologi suatu partai. Bahkan visi misi yang di usungpun
kurang diperhatikan atau kurang menarik bagi para pemilih di negeri ini. Ini
semua karena maraknya korupsi dan perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya yang
di lakukan oleh kaum elit yang berada di pemerintahan yang membuat rakyat
semakin tidak percaya pada kaum minoritas dan tidak terlalu peduli pada siapa
kelak pemimpin mereka, karena di anggap sama saja. Hal itu membentuk masyarakat
menjadi masyarakat yang pragmatis, sehingga para pelaku politikpun dibuat
mengasah strategi kembali untuk memenangkan pemilu. Seperti kita ketahui,
Negara kita menerapkan sistem demokrasi dengan sistem pemilu untuk memilih
pemimpin pemerintaha, baik pusat maupun daerah, dan dengan sistem itu, maka
suara terbanyaklah yang berhak menang dan merebut kursi kekuasaan. Sehingga,
partai politik mulai harus berlogika jumlah di tengah-tengah masyarakat yang
pragmatis.
Karena itu, tentu timbul
pertanyaan bagaimana cara agar meraih suara masyarakat dari kalangan bawah atau
awam dan bagaimana cara meraih suara dari masyarakat kalangan atas atau para
intelek ?. maka bila yang kita incar adalah mayarakat awam, tentu cara termudah
untuk memanen suara adalah dengan member sesuatu, lalu sesuatu itu apa ?tentu
saja sesuatu yang mudah diterima oleh masyarakat, seperti; sembako, baju,
ataupun pencitraan yang baik dan bersih, biasanya berupa sosok da’I, ataupun
artis yang telah memperoleh popularitas di dalam masyarakat. Ada pula sesuatu
yang sangat marak, merupakan cara lama dan mungkin berlaku sepanjang masa, cara
yang mungkin ampuh dan akan diterima oleh kebanyakan orang, yaitu dengan uang.
Cara lama yang akan berlaku sepanjang masa saya kira.
Memang ideologi berperan pada
awal-awal perjuangan perpolitikan dengan memberikan warna-warna pada
partai-partai di Indonesia sebagai batu pijakan menuju terbentuknya
pemerintahan Indonesia yang baik dan sistematis. Tapi itu dulu, saat 3 partai
besar Indonesia (PNI), (MIAI),(PKI) masi berdiri di bumi ini, nasionalis,
islam, dan komunis. Tiga ideologi itulah yang dulu marak di negeri kita ini.
Saat ideologi masih dianggap sebagai daging segar bagi rakyat kita, tidak untuk
sekarang dimana ideologi sangat kurang mendapat sorotan dari masyarakat. Mungkin
juga dulu mereka gandrung akan ideologi-ideologi itu karena itu merupakan hal
baru dan merupakan bentuk atau wujud dari kebebasan mereka dari penjajah,
mungkin sama hal-nya dengan demokrasi saat ini, dimana pada awal munculnya di
puja layaknya sebuah jalan pintas menuju kesejahteraan, tetapi saat ini mulai
dirasakan anomali-anomali yang disebabkan olehnya sehingga ada beberapa
argument yang keluar dari mulut rakyat bahwa masa orde lama atau kediktatoran
lebih baik dari pada masa ini,masa demokrasi. Mungkin rakyat kita lah yang
salah, yang selalu menerima dan main menerapkannya saja tanpa mengetahui lebih
dalam tentang seluk beluk hal yang akan kita terima dan dapatkan itu.
Selain itu, menurut seorang tokoh
politik Indonesia, bahwa dalam partai politik tiadak lagi dijumpai peran
ideologi pada setiap anggotanya, karena kebanyakan dari meruka sudah
berorientasi pada materi bukan lagi pada ideologi. Mereka telah menjadikan
politisi sebagai profesinya dan tempat bagi mereka meraup pundi-pundi uang.
Sehingga mereka tidak terlalu memikirkan tentang ideologi tapi lebih ke
pemenuhan kebutuhan materinya. Sehingga dapat kita katakana bahwa dewasa ini
kita sangat kurang dapat menemukan peran ideologi dalam suatu partai politik.
Ia juga menegaskan yang ada pada partai politik dan kadernya bukanlah lagi
ideologi, tetapi berupa azas-azas kehidupan.
Ssetelah kita mendapati betapa
kurang berperannya ideologi pada suatu partai politik, kita sekarang beranjak
pada pembahasan, sebenarnya apa itu arti ideologi. Seperti yang telah dijelaskan
di atas tadi, bahwa ideologi itu mengalami banyak transisi-transisi dan
prubahan-prubahan dari waktu ke waktu. Dan ideologi secara umum adalah sebuah
pandangan hidup dan seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan. Dan
ciri-ciri ideologi menurut Heywood yakni
a) sebagai world view (pandangan
hidup) masyarakat,
b) sebagai model, visi, cita-cita
tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan dan
c) sebagai pedoman bagi
perubahan-perubahan politik yang seharusnya dilakukan
Dari arti dan ciri-ciri di atas
saya akan coba mnyorotinya dari sisi, ideologi sebagai pandangan hidup, dengan
ide-ide di dalamnya yang berorientasi pada tindakan. Dari sini kita dapat
melihat jelas bahwa ideology di jadikan pandangan hidup dimana hal itu mempengaruhi
perbuatan atau tindakan mereka. Lalu apa beda mereka dengan agama ? apa
ideologi itu memang agama ? hanya saja tidak dianggap ?. bukankah agama
merupakan pandangan hidup yang menuntun kita harus berbuat apa ? an ideologipun
pandangan hidup yang dapat mengatur atau berdampak pada perbuatan atau tindakan
kita, jadi apakah memang ideologi adalah agama yang tidak dianggap.
Bila kita melihat perkembangan
dari pengertian-pengertian atau makna ideology tersebut maka kita dapat
berasumsi bahwa pada awalnya ideology adalah sesuatu yang digunakan untuk
menentang hal-hal yang dogmatic dan tidak rasional, yang didalamnya kits dpst
memasukkan agama pada hal yang tidak rasional yang memang kebanyakan dari orang
barat menganggap seperti itu, atau bahkan atheism pun marak berkembang di
barat. Yang lalu pada perkembangan kita dapat mengatakan bahwa ideologi
bertransformasi makna sesuai kepentingan-kepentingan sekelompok orang yang
berkuasa pada saat itu. Sehingga disini kita dapat mengasumsikan bahwa ideology
adalah suatu agama yang dibuat atau berasal dari manusia, karena berisi
pandangan hidup, nilai-nilai dan berorientasi pada tindakan seseorang. Dari hal
ini pula lah kita dapat mengajukan pertanyaan apakah berarti seseorang yang
menganut sebuah ideologi itu berarti mereka telah mengkhianati agamanya, karena
dalam agamanya telah ada pandangan hidup yang jelas tapi ia malah berpaling dan
menggunakan ideologi sebagai pandangan hidupnya.
Dalam empat tipe nilai pembentuk
identitas bersama di atas disebutkan salah satunya yaitu, nilai sakral. Nilai
sakral itu sendiri adalah nilai yang berasal dari nilai-nilai agama dan ideology.
Dan dalam buku karangan Alfian pun ia mengatakan bahwa ideologi merupakan
bagian dari tipe nilai sakral yang seperti telah diungkapkan, merupakan salah
satu sumber pembentuk identitas bersama. Ideologi merupakan salah satu tipe
nilai yang mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di sini ia menyatakan atau
memasukkan ideologi pada posisi yang sama dengan agama, bukankah ini mendukung
pernyataan sebelumnya bahwa sebenarnya ideologi adalah sebuah agama ?
Sehingga ideologi bisa saya
asumsikan layaknya agama, dimana mengajarkan pandangan hidup yang dimana hal
itu berorientasi pada tindakan seseorang. Atau mungkin ideologi memang di
hadirkan untuk menghilangkan unsure agama di kehidupan manusia. Dari berbagai
sumber yang saya baca dikatakan bahwa agama berada di atas ideologi dengan
membahas hubungan antara manusia dan tuhannya atau atas pembahasan adanya dunia
lain setelah ini, dan sebagaian ideologipun ada yang mengatur tentang kewajiban
beragama tersebut, seperti ideologi pancasila. Dan dari referensi tersebut saya
pahami bahwa ideology memang tidak dapat dimasukkan pada ranah agama, karena
memang ranah agama lebih kompleks dari ideologi. Tetapi saya berpendapat bahwa,
ideology sebenarnya tidak diperlukan oleh para penganut agama yang hakekatnya
telah ada pandangan dan nilai-nilai dalam agama mereka yang bisa mereka jadikan
sebagai pandangan, dalam hal ini saya menyoroti agama Islam sebagai keyakinan
saya, dimana dalam Islam telah ada panduan hal apa saja yang sebaiknya kita
lakukan sebagai manusia. Memang di islam tidak diajarkan tentang sistem
pemerintahan, tetapi di Islam di ajarkan tenang substansi-substansi apa yang
harus ada dalam pemerintahan atau hidup bernegara.
Sehingga disini saya lebih
menyoroti bahwa ideologi merupakan sarana untuk mengaburkan nilai agama,
terbukti dewasa ini agama mulai terdegradasi oleh ideologi. Sehingga menurut saya
tidaklah perlu suatu ideologi itu ada pada sistem kita ini, dimana kita
merupakan Negara yang meyakini keTuhanan tersebut.
Kesimpulan
Dari pemabahasan diatas dapat
kita pahami bahwa ideology pertama kali dikemukakan oleh Antoine Destutt de Tracy
pada abad ke-17 dengan tujuan untuk mengkritisi dan menentang ide-ide ataupun
keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatic ataupun tidak rasional, lalu pada
berjalannya waktu ideologi itu bertransformasi makna, dimana ideologi sempat
digunakan atau dimanfaatkan oleh para penguasa untuk meraih ataupun
mempertahankan kekuasaan, hingga paa akhirnya ideologi secara umum di artikan
sebagai suatu pandangan hidup yang berisikan nilai-nilai yang berorientasi pada
tindakan seseorang.
Ideologi juga di anggap sebagai
sumber pembentuk identitas bersama, sehingga ideolog banyak diterapkan pada
suatu Negara dan partai politik guna memunculkan sikap kesatuan karena
identitas bersama tersebut dan agar memiliki satu pandangan akan apa yang akan
diperjuangkan oleh suatu bangsa ataupun partai. Tetapi dewasa ini peranan ideologi
mulai luntur akibat kondisi perpolitikan kita yang kurang baik yang menyebakan
partisipan maupun pelaku politik menjadi pragmatis, sehingga menyebabkam para
kader tidak lagi berorientasi pada ideologi dan kepentingan bersama melainkan
lebih berorientsi pada individu dan pemenuhan kebutuhan materinya. Dalam
partaipun tidak atau kurang kita dapat menemukan adanya ideologi, dan mungkin
azas-azaslah yang menggantikan peran ideologi itu.
Ideologi dan agama sama-sama
menyajikan pandangan hidup bagi manusia, hanya saja dalam agama juga dikenal
dimensi lain dan adanya tuhan. Disini terdapat anomali saya rasa dimana, kenapa
masih ada pandangan lain padahal dalam agama sudah terdapat suatu pandangan
itu. Bukankah itu berarti yang beragama telah menduakan agama mereka. Dalam hal
ini saya menarik asumsi, bahwa ideologi tidak perlu karena telah ad agama yang
juga merupakan pandangan hidup dan
dengan adanya ideologi hanya akan mengaburkan nilai-nilai keagamaan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Prastiwi
, Juwita
Rahayuning. 2013. BAB V IDEOLOGI. perkuliahan academic skill.
Wadjdi, Farid dan Shidiq al-Jawi,
et. al. 2009. Ilusi Negara Demokrasi.
Bogor : Al Azhar Press
Damang. 2013. Ideologi partai politik. Tersedia : http://www.negarahukum.com/hukum/ideologi-partai-politik.html di akses tanggal 08 juni 2013
Aristawan, Sofah Dwi.
2013. Tergesernya Ideologi Sebagai “Bahan Jualan” Partai Politik di Indonesia.
Tersedia : http://www.dakwatuna.com di akses tanggal 08 juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar